jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Hukum Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (LBH GMBI), Fidelis Giawa mengungkapkan persoalan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) mengenai Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 bukan saja melanggar etika hukum.
"Kalau case-nya seperti yang dikatakan Plt Dirjen Hubdar, dimana pemberi kuasa tidak jelas alamatnya, hal ini bukan saja melanggar etika tetapi juga gugur secara yuridis," kata Fidelis kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
BACA JUGA: Putusan MA Soal Permen Transportasi Online Mengacu UU Lalin
Menurut Fidelis, setiap gugatan tak lepas dari berbagai muatan kepentingan. “Gugatan memang selalu memiliki muatan kepentingan. Justru kepentingan hukum harus bisa mendalilkan muatan kepentingan dalam gugatan," bebernya
Ditambahkan bahwa nantinya MA bakal melihat lebih jauh. "Yang jadi soal apakah pihak yang menggugat tersebut punya legal standing untuk menggugat. Apakah ia punya kedudukan hukum sebagai pihak yang diperkenankan oleh undang-undang untuk mengajukan gugatan," tegas Fidelis.
BACA JUGA: Ingat Ya, MA Tidak Batalkan Permenhub Transportasi Online
Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas Islam Indonesia, M. Mudzakkir mengatakan pemerintah dalam melayani masyarakat terkait persoalan hukum, di setiap pengadilan menyediakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Jadinya tidak perlu adanya sponsor yang nantinya sarat dengan kepentingan.
"Sehingga di setiap di pengadilan itu ada lembaga bantuan hukum, gunakanlah bantuan hukum," ujar Mudzakkir kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
BACA JUGA: Tentang Taksi Online, Kemenhub Diminta Segera Membuat Peraturan Baru
Mudzakkir menjelaskan jika suatu produk hukum yang digugat tersebut ternyata tidak mengayomi atau memenuhi rasa keadilan sebagian besar masyarakat, MA sulit mengabulkan gugatan dari orang atau mereka yang menjadi subjek adanya peraturan tersebut.
Siapa saja warga negara Indonesia berhak mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA).
"Siapa saja baik perorangan atau suatu kelompok berhak mengajukan gugatan ke MA, walau pun awalnya hanya satu atau dua orang, akan tetapi ternyata di belakangnya ada korporasi. Pastinya MA akan menganalisa terlebih dahulu," kata Mudzakkir.
Sebelumnya Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Hindro Surahmat, mempertanyakan pihak yang melayangkan gugatan ke MA terkait Permenhub Nomor 26 tahun 2017. Apakah si penggugat murni sebagai mitra pengemudi ataukah pesanan dari perusahaan penyedia layanan transportasi daring?
"Apakah murni driver atau karena orang Grab dan Uber. Lalu yang menggugat ke MA apakah benar supir. Karena bisa jadi didanai. Kalau melihat bisa disponsorin atau danai," kata Hindro, Rabu (13/9).
Adapun perusahaan yang bermain dalam bisnis transportasi berbasis aplikasi saat ini adalah Gojek, Grab, dan Uber.
Kecurigaannya ini berdasarkan gelagat para penggugat. Menurutnya, tuntutan mereka seperti menginginkan tidak ada aturan yang menaungi, seperti pengaturan tarif batas atas dan bawah, kuota, surat kendaraan. Sebab, pasal-pasal yang mengatur hal tersebut yang dianulir oleh MA.
"Ya kalau melihat seperti itu sepertinya mereka tidak ingin diatur. Maunya, ya, bebas. Sedangkan, yang lain memenuhi aturan kaya badan usaha dan lainnya. Tarif diatur kuota dibatasi, supaya tidak perang tarif. Tapi mereka secara umum tidak mau begitu," kata dia.
Kemudian, ia mempertanyakan, menyoal kuasa hukum yang berada di balik enam orang tersebut. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kemenhub, pengacara mereka termasuk berkelas corporate yang memungkinkan untuk memakai jasanya memerlukan biaya tidak sedikit.
Tidak hanya itu ia menjelaskan, dari penelusuran tempat tinggal masing-masing penggugat, ternyata alamatnya tidaklah sesuai.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Sudah Saatnya Mendukung Transportasi Online
Redaktur & Reporter : Friederich