jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi menyayangkan adanya ajakan-ajakan boikot produk Israel, karena imbasnya merugikan anak-anak bangsa.
Dia mengaku kasihan melihat para orang tua yang susah payah keluar uang besar untuk menguliahkan anak-anaknya, tetapi akhirnya menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan.
BACA JUGA: Waspada Penumpang Gelap dalam Isu Boikot Produk
"Kondisi makin sulit karena ajakan-ajakan boikot ini. Mau ke mana para lulusan sarjana kita kalau banyak perusahaan tutup,” kata Tadjuddin Noer Effendi dalam keterangannya, Selasa (19/3).
Dia mengutarakan di UGM tempatnya mengajar saja sebanyak 12 ribu mahasiswa yang diwisuda setiap tahunnya. Belum lagi di universitas-universitas lainnya.
BACA JUGA: Aksi Boikot Produk Israel Bikin Pendapatan Turun 70 Persen, Ribuan Pekerja Kena PHK
Sementara, dengan 5% pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, hanya bisa menyerap sekitar satu juta per tahun. Angkatan kerja Indonesia yang masuk ke pasar kerja setiap tahunnya itu mencapai dua setengah juta.
"Itu berarti kita setiap tahun menciptakan 1,5 juta pengangguran, dan 12 persennya itu adalah lulusan sarjana, apalagi dengan ajakan-ajakan boikot itu, mau ke mana para lulusan sarjana kita ini nantinya,” tuturnya.
BACA JUGA: Arahan Khusus MUI Menjelang Ramadan: Boikot Produk Terafiliasi Israel
Mengandalkan perusahaan-perusahaan lokal dan UMKM saja untuk menampung jutaan pengangguran sarjana di Indonesia, menurutnya, itu mustahil. Yang ada akan makin banyak orang Indonesia bekerja di luar negeri terutama para mahasiswa yang pintar-pintar.
"Terlebih lagi beberapa negara sekarang mengalami kekurangan pekerja, seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hongkong. Apa itu yang diinginkan bangsa ini,” ucapnya.
Jadi, tambahnya, pemerintah juga harus bisa mengantisipasi lonjakan pengangguran ini, apalagi dengan adanya isu-isu boikot tersebut
Dia mengimbau agar pihak-pihak yang menyerukan ajakan boikot terhadap produk-produk afiliasi Israel itu bisa melihat dampaknya terhadap para mahasiswa di Indonesia.
“Kasihan kan orang tua yang mengharapkan anak-anaknya bisa bekerja setelah menjadi sarjana, tetapi akhirnya menganggur karena makin sedikitnya perusahaan yang menerima mereka kerja,” ungkapnya.
Dia juga menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi Indonesia siapa pun itu untuk menolak perusahaan asing selama perusahaan itu tidak melanggar dan mengganggu kedaulatan Indonesia.
Jadi, dia melihat apa yang dilakukan dengan ajakan-ajakan boikot itu cuma fanatisme semata dan tidak ada kaitannya dengan agama. Sebab, perusahaan masuk ke Indonesia itu tidak membawa ajaran apa pun, hanya ingin berinvestasi saja.
"Sementara, kita mau menciptakan lapangan kerja, membutuhkan investasi,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan sikap MUI yang menyerahkan daftar dari produk-produk terafiliasi Israel kepada masing-masing individu masyarakat untuk memprosesnya itu justru banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan pesaingnya.
Dia menyebutkan di sektor hotel dan restoran sudah menyebabkan penurunan pendapatan hingga 25 – 70 persen tergantung lokasinya karena keluarnya daftar-daftar produk boikot.
“Ini kemudian menjadi masalah serius di mana per Desember kemarin sudah kami record, ada seribu orang yang terpaksa di PHK karena memang turunnya sangat luar biasa,” tuturnya. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad