Pengamat: Wapres tak Boleh Posisikan sebagai Penentu Reshuffle Kabinet

Sabtu, 09 Mei 2015 – 20:04 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pernyataan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai memberi sinyal kuat reshuffle kabinet memang benar-benar akan terjadi. Pasalnya, jika tidak ada rencana reshuffle, kedua pemimpin tentu akan tegas mengatakan tidak ada.

"Ada beberapa hal yang menguatkan  wacana reshuffle kabinet. Misalnya, saat presiden baru mengatakan nanti dilihat, Wapres justru sudah melompat dengan mengatakan akan segera," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, Sabtu (9/5).

BACA JUGA: Wow... Bra Berukuran Besar Milik Artis Dibeber di Mapolres, Ini Fotonya

Namun meski sinyal cukup kuat, Said melihat ada persoalan penting dari pandangan keduanya, terutama dari JK. Dalam perspektif tata negara, seharusnya Wapres kata Said, tidak boleh mengambil posisi sebagai pihak yang seolah-olah menentukan reshuffle. Karena Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 tegas menentukan menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

"Itu maknanya hal ikhwal reshuffle kabibet adalah urusan presiden, bukan urusan Wapres. Kita kenal sebagai hak prerogatif presiden yang didapatkan secara langsung dari konstitusi," katanya.

BACA JUGA: RA Bantah Rekrut PSK, Ternyata Artisnya Minta Dijajakan

Selain itu, Said juga menilai, meski mengganti menteri hak prerogatif, bukan berarti Presiden bisa seenaknya melakukan reshuffle. Presiden harus punya alasan yang kuat. Sebab dalam konstitusi, menteri bukan seorang pegawai tinggi biasa seperti para pejabat lain yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Menteri menurut Said, pemimpin negara yang melaksanakan kekuasaan pemerintah.

"Kalau untuk memberhentikan PNS  saja seorang pejabat diwajibkan undang-undang mempunyai alasan kuat, maka dalam menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan menteri pun presiden harus menyertakan alasan yang jelas dan kuat," katanya.

BACA JUGA: Harapkan TNI AU Perbanyak Penerbang Handal Penjaga NKRI

Karena itu jika reshuffle benar-benar dilakukan, menurut Said, presiden memiliki tanggung-jawab untuk secara berani menyampaikan kepada publik tentang alasan memberhentikan pembantunya.

"Karena pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh menteri berada di tangan Presiden, maka tidak perlu ada ketentuan waktu bagi Presiden melakukan reshuffle. Walaupun baru hitungan hari, apabila ada menteri yang melakukan kesalahan fatal dalam kebijakan yang diambilnya, maka boleh saja Presiden memberhentikan menteri bersangkutan," katanya.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Cara Polisi Booking PSK Artis Papan Atas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler