jpnn.com - JAKARTA - Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung dinilai memiliki banyak ekses negatif, sehingga diputuskan diganti dengan pilkada DPRD oleh sebagian fraksi di DPR. Namun, para penggagas pilkada DPRD itu dinilai terlalu terburu-buru, setelah secara drastis menilai pilkada langsung harus diganti karena kelemahannya sulit untuk diperbaiki.
"Pilkada langsung banyak kekurangan, tapi kita belum pernah melakukan evaluasi secara total," ujar Said Salahudin, Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) dalam diskusi di Jakarta, kemarin (27/9).
BACA JUGA: Perawat Bisa Buka Praktik, Boleh Mendiagnosis juga
Said menilai, pilkada dengan mekanisme langsung masih relevan untuk dipraktikkan. Sorotan terhadap banyaknya praktek politik uang, munculnya konflik horizontal, masih dibahas dalam tataran yang dangkal.
"Kalau bicara kepala daerah ditangkap pas era pilkada langsung, KPK sindiri baru muncul di era pilkada langsung. Coba sebelumnya, pasti lebih banyak," kata Said.
BACA JUGA: KPK Buka Lagi Kasus-Kasus Lawas
Permasalahan tingginya biaya pilkada, kata Said, sudah mendapatkan solusi melalui pilkada serentak. Sementara, dengan pemilihan dengan DPRD, Said menilai konsep pemilihan melalui perwakilan itu sama demokratisnya dengan pilkada langsung. Namun, ada permasalahan mendasar yang dimiliki pilkada oleh DPRD terhadap situasi publik.
"Rakyat kurang percaya pada DPRD, trustnya belum terbangun. Kalau saya maunya pilkada langsung," ujarnya.
BACA JUGA: Petugas Haji Mulai Fokus ke Armina
Bagi penggugat pilkada langsung, lanjut Said, ada persoalan tafsir yang harus dihadapi. Mahkamah Konstitusi kemungkinan akan menilai posisi pilkada DPRD dengan pilkada langsung sama-sama demokratis. Karena itu, harus ada upaya lebih jika ingin mengembalikan pilkada langsung.
"Pertanyaannya adalah, ini derajatnya lebih demokratis mana," tandasnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di tempat yang sama menambahkan, pihaknya tetap optimis bahwa gugatan UU Pilkada nanti akan dikabulkan oleh MK. Bagaimanapun juga, pilihan pilkada langsung lebih demokratis dibandingkan pilkada DPRD.
"Kami akan membangun argumen sekomprehensif mungkin," ujar Titi.
Menurut Titi, konsep pilkada dengan DPRD tidak konsisten. Ada sejumlah Undang Undang yang mengatakan sejumlah daerah seperti Aceh, DKI Jakarta, Jogjakarta dan Papua bisa menggelar pilkada langsung. Situasi politik empat daerah itu, tidak memiliki perbedaan dengan daerah lain yang diwajibkan pilkada DPRD.
"Iklim politiknya sama, karena itu, makna pilihan langsung tetap berlaku," ujarnya.
Lebih lanjut, penetapan UU Pilkada juga sarat ambisi politik, karena isinya tidak harmonis dengan sejumlah Undang Undang. Di mekanisme Undang Undang Penyelenggara Pemilu, keberadaan Komisi Pemilihan Umum daerah masih mendapatkan mandat untuk menggelar pilkada. Di aturan Undang Undang terkait MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak diatur fungsi memilih kepala daerah disematkan kepada DPRD.
"Undang Undang ini tidak disinkronisasi dan diharmonisasi, dimana masih ada kesempatan bagi masyarakat untuk memilih," ujarnya.
Meski begitu, Titi menegaskan bahwa argumen yang paling mendasar adalah aturan konstitusi. MK selama ini menganggap bahwa pilihan langsung adalah mekanisme demokratis. Patut diingat, MK adalah lembaga yang memberi jalan kepada calon independen atau perseorangan maju dalam pilkada. Sementara, jika pilkada dipilih oleh DPRD, kecil kemungkinan hal itu terjadi di banyak wilayah.
"MK selalu mengatakan, dalam sistem pemilihan, selalu dipertimbangkan budaya di dalam masyarakat. Kalau calon perseorangan yang didukung KTP pemilih, bagaimana bisa proses pemilihannya dilakukan di DPRD," ujarnya.
Titi juga angkat bicara terkait posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kecewa terhadap hasil akhir UU Pilkada. Titi menilai, SBY memainkan drama yang luar biasa. Dengan posisinya, saat ini, sangat tidak mungkin jika SBY tidak tahu atau sekedar terlambat mengetahui proses penetapan RUU Pilkada di sidang paripurna Jumat (26/9) dini hari.
"Dia itu kepala negara, kepala pemerintahan, ketua umum, kok bisa tidak tahu," ujarnya.
Sebagai kepala negara, kata Titi, seharusnya SBY bisa menjalankan perannya. Jika memang benar-benar tulus mendukung pilkada langsung, SBY bisa memerintahkan Menteri Dalam Negeri, pembantunya di kabinet, untuk konsisten mendukung pilkada langsung.
"Kenyataannya, menterinya menerima semua keputusan paripurna. Masyarakat tidak bisa dipermainkan. Kok lemah sekali Presiden kita," ujarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Ramadhan Pohan menyatakan, situasi paripurna yang terjadi waktu itu yang membuat pihaknya memutuskan melakukan walkout (WO). Menurut Ramadhan, upaya lobi selama lebih dari empat jam sudah dilakukan oleh Ketua Fraksi Nurhayati Ali Assegaf. Namun, upaya itu berjalan melelahkan, dan dinilai tidak berhasil. Nurhayati menurut Ramadhan merasa putus asa karena opsi Partai Demokrat gagal masuk menjadi salah satu pilihan.
"Pada saat di lapangan mungkin bu Nur (Nurhayati) udah lelah dengan berjam-jam lobi enggak berhasil beliau melihatnya hopeless mungkin itu yang menyebabkan (walk out), ya udah mau apalagi," ujarnya.
Padahal, kata Ramadhan, opsi pilkada langsung dengan 10 syarat itu sudah diusulkan sejak paripurna membuka sesi pembahasan RUU Pilkada. Namun, tidak ada satupun fraksi yang mendukung, sehingga dilakukan proses lobi. Sehingga, keputusan WO pun diambil oleh Nurhayati. Ramadhan menilai keputusasaan Nurhayati terlihat dari ekspresinya di sidang paripurna.
"Yang saya dengar dan lihat dari wajah Bu Nur begitu," ujarnya.
Lebih jauh dari itu, Ramadhan menegaskan hubungan elit Partai Demokrat dengan elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai pendukung pilkada langsung, selama ini terus berlangsung baik. Namun, dia mengakui jika hubungan SBY selaku Ketum Demokrat dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri memang berbeda.
"Hubungan politik Ketua Umum Partai Demokrat dengan Ketum PDI-P memang tidak senormal saya dengan elit PDIP. Tidak seperti itu. Tapi ini tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi 25 September (paripurna RUU Pilkada, red)," ujarnya.
Ketua DPP PDIP Aria Bima menilai kekecewaan ataupun kemarahan SBY atas keputusan akhir UU Pilkada justru mengherankan. Menurut dia, SBY memiliki sumber daya yang cukup untuk bisa memantau langsung paripurna UU Pilkada.
"Di pemerintahan ada Mendagri, di Demokrat ada Ketua Fraksi, bahkan Sekjen Demokrat pun hadir," ujar Bima mengingatkan.
Dari posisi itu, Bima menilai seharusnya SBY bisa memantau langsung perkembangan paripurna. Jika SBY kecewa, Mendagri nampak hanya terdiam saja saat keputusan akhir bahwa pilkada DPRD memenangi voting.
"Tidak ada komentar apapun saat pidato. Dia (Mendagri) setuju saja," ujar Bima.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku tidak bisa memantau proses politik yang terjadi saat sidang paripurna tentang UU Pilkada, secara langsung. Dia beralasan tengah mengemban tugas kenegaraan di luar negeri. Dia juga mengaku kerap mendapat laporan yang terlambat terkait jalannya sidang, termasuk ketika partainya memilih untuk melakukan WO.
"Saya diberitahu tapi sudah terlambat memberitahunya. Katanya dalam sidang pleno tadi seolah-olah ada dukungan dari sejumlah fraksi yang katanya usulan Demokrat itu baik, tapi mengapa tidak diwadahi dalam opsi, baik opsi sendiri, opsi satu, dua atau tiga. Tapi proses politik ini tidak terjadi. Saya harus katakan kehendak untuk menyatukan pandangan ini tidak ada," paparnya dalam akun youtube Suara Demokrat.
SBY juga mengaku, hingga saat ini, pihaknya masih mendapat laporan-laporan yang tidak valid. Karena itu, dia memilih menunggu untuk menerima laporan lengkap dari Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan dan Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Assegaf.
"Saya sedang menunggu laporan lengkap karena ketika proses politik di DPR, saya sedang dalam perjalanan dari New York ke Washington DC. Sementara informasi yang saya terima, sering tidak lengkap, simpang siur dan bertabrakan satu sama lain," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, SBY pun tampaknya berusaha meraih kembali simpati rakyat dengan menekankan bahwa pihaknya menelan sejumlah kekecewaan terkait hasil sidang paripurna tersebut. Dia menguraikan, sangat kecewa saat mengetahui opsi partainya ditolak.
Saya kecewa dengan itu (penolakan opsi Demokrat) dan kemudian hanya karena hanya ada dua opsi, Demokrat berat untuk memilih mana, opsi yang tidak secara eksplisit pilkada langsung dengan perubahan dengan opsi pimpinan daerah dipilih DPRD," urainya.
Kekecewaannya yang lain, yakni menyangkut adanya kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah, baik Gubernur, Bupati dan Wali kota. Menurut dia, adanya butir kewenangan tersebut dalam UU Pilkada tersebut sama saja dengan mengambil kedaulatan rakyat. Dia memaparkan, saat pemilu legislatif lalu, rakyat tidak memiliki bayangan bahwa para anggota DPRD yang mereka pilih bakal menentukan kepala daerah di daerah mereka.
"Rakyat saat memilih wakilnya saat itu, tidak tahu ada rencana bahwa Gubernur, Bupati, Walikota yang memilih adalah DPRD, bukan rakyat lagi. Berarti pileg kemarin tidak klop dengan apa yang diyakini rakyat, dia hanya milih wakil rakyat yang kemudian akan memilih kepala daerah mereka. Ini prinsip bagi saya. Ini berarti kedaulatan rakyat diambil DPRD. Lalu rakyat disuruh apa,"paparnya.
SBY kembali menekankan bahwa dalam UU yang mengatur tentang DPRD tidak dibahas mengenai kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah. Karena itu, dia mempertanyakan darimana kewenangan itu berasal.
"Apa ini, DPR mau bagi-bagi, gubernurnya ini, bupatinya ini, rakyat dikemanakan. Saya katakan ini kemunduran," tegasnya.
Untuk itu, SBY menegaskan Demokrat akan mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke MK atau MA. Saat ini, lanjut dia, gugatan hukum tersebut tengah dipersiapkan.
"Demokrat berencana akan melakukan gugatan hukum dan sedang kami pesiapkan. Karena itu tadi, rakya tidak tahu darimana kewenangan (DPRD) itu berasal, wong rakyat enggak berikan, itu fundamental bagi saya. Itu alasan kuat untuk membawa ini ke MK atau MA,"imbuhnya.(bay/ken)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sanksi Sosial Menanti Partai Pemilih Pilkada DPRD
Redaktur : Tim Redaksi