Sanksi Sosial Menanti Partai Pemilih Pilkada DPRD

Minggu, 28 September 2014 – 05:40 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Pengesahan Undang-Undang (UU) Pilkada terus mendapat perlawanan. Selain menggugat dengan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), dipastikan juga masyarakat akan memberikan sanksi sosial dengan tidak memilih partai yang mendukung pengesahan pilkada oleh DPRD tersebut.

Pengamat politik dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan, kemarahan publik terhadap pengkhianatan wakil rakyat saat ini akan berbeda. Sebab, rakyat akan mengingat kemunduran sejarah itu dalam waktu yang sangat lama. ”Sehingga akan ada sanksi sosial yang dilakukan rakyat,” terangnya.

BACA JUGA: Hari Ini, Pemberangkatan Kloter Terakhir Calon Jemaah Haji

Partai yang akan mendapat sanksi sosial itu adalah Demokrat, Gerindra, PPP, Golkar, dan PAN. Seluruh partai yang berperan pada kemunduran demokrasi Indonesia itu sangat mungkin disanksi dengan tidak dipilih rakyat pada pemilu ke depan. ”Pemilih akan beralih pada partai lain,” terangnya.

Sanksi sosial itu sebenarnya telah muncul sekarang. Salah satunya kepada Partai Demokrat, bahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Buktinya, di media sosial banyak sekali yang menghujat drama politik PD dengan walk out (WO) tersebut. ”Demokrat menjadi partai yang paling awal terkena sanksi,” jelasnya.

BACA JUGA: SBY Dianjurkan Jangan Balik Dulu ke Indonesia Sebelum Jokowi Dilantik

Bahkan, rencananya, Perludem juga menginventarisasi anggota DPR yang memilih pilkada oleh DPRD. Setelah itu, seluruh nama tersebut akan diumumkan biar diingat oleh rakyat. ”Masyarakat silakan mengingat dan memberikan sanksi sosialnya karena mereka telah merampas hak rakyat,” jelasnya.

Dia menambahkan, rakyat juga jangan lengah dengan berbagai agenda partai, khususnya yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Dia mengatakan, perampasan hak pilih rakyat itu bukan agenda terakhir. Sangat mungkin ada berbagai langkah lain yang akan ditempuh. ”Yang ujung-ujungnya rakyat yang dirugikan,” tegasnya.

BACA JUGA: Anggap Pilkada di DPRD Bentuk Pembajakan Agenda Reformasi

Sementara itu, Wakil Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjelaskan, berbagai akrobat politik di DPR tersebut akan dicatat rakyat. Terutama tokoh yang seolah-olah mendukung demokrasi, tetapi kenyataannya melakukan pembiaran dalam kejadian tersebut. ”Seharusnya Demokrat itu tidak walk out kalau menginginkan pilkada langsung,” ucap dia.

Menurut Hasto, yang memunculkan keheranan, mengapa Presiden SBY justru pergi ke luar negeri saat ada kemunduran demokrasi Indonesia. Kalau memang konsen pada pilkada langsung, seharusnya malah tetap di Indonesia. ”Ini yang aneh,” terangnya.

Bagian lain, bola panas penyelesaian UU Pilkada ada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, banyak pihak yang mengajukan judicial review. Pengamat hukum tata negara Refly Harun menerangkan, hakim MK pasti tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum dalam masalah itu, tapi juga aspirasi masyarakat yang berkembang sekarang. ”Karena itu, penilaian hakim MK jangan hanya soal konstitusional atau tidak, tapi juga harus pro pada rakyat,” katanya.

Sejak awal, di Indonesia memang pemilihan bisa secara langsung dan tidak langsung. Namun, interpretasi terhadap konstitusi itu bisa dinamis. Pasal soal pemilu bisa langsung dan tidak langsung tersebut dibuat pada 2000. ”Namun, keadaan terus berkembang,” jelasnya.

Lalu, pada 2008 disepakati pemilu dilakukan secara langsung hingga pada 2014 ternyata dikembalikan lagi ke pilkada oleh DPRD. Seharusnya dipandang cara pemilu mana yang paling konstitusional. ”Keduanya, baik langsung dan tidak langsung, memang konstitusional. Tapi, dari keduanya, pemilihan langsung lebih konstitusional,” tegasnya.

Sebab, papar dia, dengan pemilihan tidak langsung, ada hak memilih dan hak dipilih yang dihilangkan. Rakyat tidak bisa memilih kepala daerah dan banyak orang yang akan kesulitan untuk bisa dipilih menjadi kepala daerah. ”Perkembangan demokrasi selama sepuluh tahun terakhir ini juga akan lebih baik dipertimbangkan MK,” papar dia.

Sementara itu, banyak pihak yang menilai pilkada tak langsung bakal menyuburkan korupsi di lingkungan partai politik. Sebab, selama ini banyak parpol yang sangat tertutup soal pengelolaan dananya.

Data assessment Transparency International Indonesia (TII) pada 2013 menunjukkan bahwa hanya lima parpol yang selama ini terbuka soal pengelolaan dananya. ”Partai politik yang lain sangat tidak terbuka. Tidak menerima kami,” ujar Sekjen TII Dadang Trisasongko.

Parpol yang terbuka soal pengelolaan dana adalah PDIP, PKB, Hanura, PAN, dan Gerindra. Mereka yang tidak terbuka tentu bisa diduga terindikasi melakukan korupsi.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebutkan bahwa pilkada tak langsung hanya akan melokalisasi praktik korupsi dan money politics oleh DPR. ”Kalau dilokalisasi, korupsinya bisa gede-gedean tuh. Bisa tahunan dan akan sustainable,” ujar Bambang.

Segala jenis korupsi seperti political corruption, grand corruption, democration corruption, dan constitution corruption bakal terjadi dalam pilkada tak langsung. "Yang jahat-jahat semua ada di situ. Gak sebanding lah dengan praktik korupsi yang terjadi jika pilkada dilakukan secara langsung," jelasnya. (idr/gun/c11/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolda Jabar Raih Gelar Doktor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler