Penghasilan Bisa Ratusan Ribu bahkan Jutaan Rupiah per Hari, tapi…

Selasa, 30 Mei 2017 – 00:05 WIB
Para warga dari Ipaya melambaikan tangan saat mereka berada di salah satu muara di Ipaya. Mereka juga membawa juga anak-anak mereka sehingga terkendala ke sekolah. Foto diabadikan Selasa (23/5). Foto: SAMPE P SIANTURI/RADAR TIMIKA/JPNN.com

jpnn.com - Kehidupan Suku Kamoro tidak bisa terlepas dari 3S yakni sungai, sagu, sampan. Apa hubungannya dengan rendahnya kehadiran murid-murid di sekolah seperti yang masih terjadi saat ini? Berikut liputannya.

SAMPE P SIANTURI - RADAR TIMIKA

BACA JUGA: Endank Soekamti Ajarkan Animasi ke Anak-Anak Papua

Suku Kamoro mendiami seluruh pesisir Kabupaten Mimika, Papua, sehingga mereka sering diidentikkan dengan orang pantai. Karena memang hidup mereka sangat bergantung dengan 3S.

Tiap keluarga dipastikan memiliki setidaknya satu sampan yang digunakan setiap hari, baik untuk mencari makanan maupun menjadi sarana transportasi.

BACA JUGA: Silakan Simak, Ini Video Hasil Pak Jokowi Ngetrail di Papua

Di era sekarang ini, sampan memang masih digunakan. Namun seiring dengan era mesin, sampan kini sudah berubah menjadi perahu fiber yang dilengkapi mesin tempel.

Dengan mesin, mobilitas para warga sudah tentu lebih cepat. Demikian juga ketika mencari ikan, sagu atau keperluan lain.

BACA JUGA: Endank Soekamti Gelar Misi 30 Hari di Papua

Nah, keterikatan 3S dengan pendidikan juga sangat erat. Suku Kamoro ketika pergi mencari ikan ke muara sungai atau ke laut, mencari sagu ke hutan sagu atau ketika menghadiri upacara adat di kampung lain, maka semua anggota keluarga selalu ikut dan wajib dibawa.

“Memang sudah seperti itu turun temurun. Anak-anak yang masih sekolah pun turut dibawa serta. Mereka takut ketika ditinggal, anak-anak akan kelaparan,” ujar Kepala Sekolah SD YPPK St Linus Ipaya, Yacob Iritayan dalam pertemuan dengan Tim Unicef, YP2KP PSW YPPK Tillemans dan Dispendasbud Mimika, Senin lalu dalam kegiatan monitoring Program Literasi (baca dan tulis).

Anak-anak usia sekolah akan mengikuti ke mana pun orang tua mereka mencari sumber makanan. Para orang tua bisa berminggu-minggu bahkan berbulan di satu lokasi yang menjadi sumber pencaharian mereka.

“Apakah itu di kepala air (muara sungai) atau di dusun sagu, dan tempat lain, anak-anak harus ikut. Ketidakhadiran mereka di kelas ini jadi salah sati kendala mereka belajar,” jelasnya lagi.

Salah satu kekurangan warga di sana adalah, tidak adanya stok makanan di rumah yang cukup bagi anggota keluarga yang ditinggal. Otomatis, semua anggota keluarga harus dibopong ke lokasi tujuan.

Padahal, sumber makanan begitu melimpah di sana. Ada kelapa, ikan, sagu bahkan sumber protein lain seperti hewan buruan.

Bahkan saat ini, hampir di seluruh kampung sudah terdapat pedagang sembako, sehingga warga dengan mudah dapat membeli.

Pendapatan warga setiap hari? Bisa ratusan ribu bahkan jutaan rupiah, tergantung gairah dan semangat mencari ikan. Pasalnya, saat ini jumlah ikan di laut dan sungai begitu melimpah.

Para warga juga rajin melaut untuk mencari ikan, sehingga selalu mendapatkan hasil yang baik.

Dan enaknya lagi, ikan atau hasil laut lain langsung dibeli oleh para pedatang dari Kota Timika, sehingga uang dapat didapatkan setiap hari.

“Namun warga kami tidak begitu tahu menyimpan untuk hari besok. Kadang mereka dapat uang banyak, bukannya beli beras untuk berapa hari, namun dibelanjakan untuk gula, kopi dan rokok. Itu bagi mereka sudah cukup. Padahal ada kebutuhan di masa depan yakni masa depan anak-anak,” jelas Kepala Kampung Ipiri, Ludopikus Mairapea dalam pertemuan itu.

Konsekuensi ketiadaan stok makanan di rumah itulah, salah satu faktor yang menjadikan anak-anak enggan ditinggal di rumah.

Mereka takut ketika ditinggal orang tua, ketika pulang sekolah makanan tidak ada di rumah.

“Hal inilah yang membuat tingkat kehadiran anak-anak di sekolah rendah. Contoh dari 60 orang dalam satu kelas, yang hadir paling 25 orang. Dan besoknya meski jumlah kehadiran masih sama, sebagian murid sudah orang yang berbeda. Makanya kita kesulitan dalam melanjutkan pelajaran,” ujar Yacob.

Ketika menjelang ujian, maka guru akan mati-matian mengajak para murid agar bersekolah. Meski hal itu tidak mudah. Apalagi ketika orang tua sudah berangkat ke laut, dusun atau kampung lain.

“Pak guru…kami mau pulang. Kami lapar,” seru anak-anak ketika jam pelajaran masih berjalan, seperti diceritakan Yacob.

Teriakan lapar itu tentu tidak bisa diindahkan begitu saja. “Jangan nanti sampai pingsan lagi, kita bisa bermasalah dengan orang tua. Jadi kami pulangkan saja. Dan ini sudah sering terjadi dan sudah biasa. Jelas kami tidak bisa memaksa mereka, karena memang situasi perut mereka yang sudah kosong,” cerita guru yang lain.

Namun para guru di SD YPPK St Linus Ipaya tidak kehabisan akal. Mereka memprogramkan adanya makanan tambahan berupa bubur kacang hijau.

Jadi dalam seminggu para guru mengadakan setidaknya 1-2 kali makan bubur kacang hijau bersama, khususnya untuk kelas awal yakni kelas 1-3.

“Mereka ini kan yang susah mencari makanan sendiri. Kalau yang besar sudah bisa sendiri. Dulunya makanan tambahan dari Dispendasbud masih ada. Namun dalam tahun ajaran ini sudah tidak ada,” jelas Yacob.

Dengan adanya makanan tambahan bubur itu, semangat anak-anak masuk kelas semakin membaik. Demikian juga kemampuan literasi semakin meningkat, meski tidak terlalu signifikan.

Bahkan anak-anak juga diminta ambil bagian dengan membawa kayu bakar, sebab bubur yang dimasak juga jumlahnya lumayan banyak.

“Kita tidak umumkan kapan makan bubur, sehingga mereka akan lebih rajin. Kalau jumlah kehadiran menurun, kita akan umumkan lagi. Dan anak-anak datang lagi,” papar para guru.

Di SD YPPK St Linus Ipaya, dari hasil pengamatan tes membaca di kelas awal 1-3, kemampuan mereka sedikit meningkat jika dibandingkan dengan SD YPPK St Fransiscus Xaverius Kawar.

“Program makan bubur kacang hijau ini akan terus kami lakukan ke depan. Meski dana kadang terbatas tapi demi anak-anak, hal itu akan kita terus adakan,” ujar Yacob.

Hal lain yang diserukan adalah mengumumkan kepada orang tua lewat mimbar gereja, agar orang tua mendorong anak-anaknya bersekolah. Juga menyediakan makanan pagi dan siang bagi anak-anak, agar mereka lebih betah di sekolah.

“Bagaimana anak tidak suka ke sekolah, banyak yang tidak makan pagi. Otomatis di sekolah akan lapar dan mengantuk. Jadi program itu kami dukung,” ujar Ludopikus. ***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Jokowi Salat di Musala Kecil Ini, 2 x 3 Meter


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Suku Kamoro   Timika   Papua  

Terpopuler