jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) didesak mengusut penempatan illegal 250 pekerja migran Indonesia (PMI) yang diberangkatkan ke Inggris pada bulan Juli lalu.
Desakan itu disampaikan aktivis hak buruh migran asal Inggris, Andy Hall.
BACA JUGA: Kepala BP2MI Menjemput 193 PMI yang Dideportasi dari Malaysia
Menurut dia, agensi yang memberangkatkan para PMI itu tidak memiliki lisensi dari Gangmasters and Labour Abuse Authority (GLAA), sebuah badan pemerintah Inggris yang bertanggung jawab atas perizinan penyedia tenaga kerja dan penanganan eksploitasi di sektor pertanian.
“Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) seharusnya bisa menginvestigasi hal ini dan menutup perusahaan yang melakukan pemberangkatan tersebut. Karena tanpa lisensi, penempatan di Inggris pasti bersifat ilegal,” kata Andy dalam keterangan kepada awak media, Minggu (14/8).
BACA JUGA: Anak Buah Kolonel Stanley Gagalkan Penyelundupan PMI Ilegal yang Hendak ke Malaysia
Terlebih, ungkap Andy, izin keberangkatan 250 PMI hanya berjangka 6 bulan. Sementara pekerjaan yang dijanjikan penyalur kepada PMI adalah untuk 2 tahun.
Andy pun menyebut tindakan ini sebagai pembohongan publik.
BACA JUGA: Ketiban Rejeki Nomplok, PMI di Taiwan Mendadak Jadi Miliuner
Andy juga menyatakan seharusnya tidak boleh ada pembiayaan yang dibebankan kepada PMI.
Otoritas Inggris, ungkapnya, tidak pernah membolehkan pembebanan biaya atas pekerja migran yang bekerja di sana. Termasuk di antaranya biaya visa dan perjalanan.
“Pekerja Migran tidak boleh membayar biaya apapun, termasuk biaya perjalanan dan visa (travel). Ini aturan regulasi di Inggris,” jelasnya.
Lebih dari itu, Andy juga menemukan pembengkakan atau mark up atas biaya yang disebut sebagai biaya penempatan itu. Menurutnya, beban biaya yang ditagihkan perusahaan penempatan PMI tersebut terlalu mahal.
“Misalnya tiket pesawat dari NTB dan Bali ke Jakarta lalu ke Inggris, yang dibebankan sebesar Rp 26 juta. Harga ini sungguh terlampau mahal dan membebankan pekerja migran,” tutur dia. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif