jpnn.com - Nama Tan Paulin mendadak sohor setelah disebut oleh anggota DPR RI Muhammad Nasir sebagai ‘’Ratu Batu Bara’’.
Ratu adalah penguasa wilayah dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Tan Paulin disebut sebagai ratu yang menguasai jaringan perdagangan batu bara nasional.
BACA JUGA: Luhut Binsar Izinkan 37 Kapal Angkut Ekspor Batu Bara, Kok Bisa?
Muhammad Nasir menyebut Paulin memproduksi sedikitnya satu juta ton batu bara setiap bulan, yang kemudian dijual ke luar negeri dan hasilnya masuk kantong sendiri, tanpa membayar pajak.
Di Surabaya nama Tan Paulin cukup dikenal di kalangan pengusaha dan sosialita. Dia salah seorang pengusaha trader terkemuka dan dikenal piawai dalam menjalankan usaha.
BACA JUGA: Larangan Ekspor Batu Bara Harus Berlanjut, Jika Tidak Rakyat Jadi Korban
Cerita bisnis gelap batu bara yang membawa nama Tan Paulin muncul bersamaan dengan krisis pasokan batu bara untuk pembangkit tenaga listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Beberapa bulan terakhir ini PLN kekurangan pasokan batu bara yang mengakibatkan listrik biarpet dan merugikan puluhan ribu pelanggan.
BACA JUGA: Pastikan Efektivitas Pasokan Batu Bara Aman, PLN dan Ditjen Minerba Lakukan Hal ini
Pasokan batu baru macet karena para pengusaha tambang main kucing-kucingan dengan menghindari domestic market obligation (DMO), kewajiban untuk memasok batu bara kepada PLN.
Harga pasokan DMO lebih rendah dari harga ekspor, karena itu pengusaha batu bara lebih memilih menjual barang ke luar negeri ketimbang memasok kewajiban ke PLN.
Akibat krisis ini Jokowi berang dan memerintahkan penghentian ekspor batu bara selama satu bulan, mulai Januari sampai Februari. Negara-negara pengimpor batu bara Indonesia berteriak-teriak akibat embargo ini.
China, Korea, dan Jepang--yang selama ini mengandalkan pasokan batu bara dari Indonesia--kalang kabut karena pencekalan ekspor itu.
Seperti biasanya, Jokowi masygul oleh kucing-kucingan itu dan mengancam akan mencabut izin pertambangan perusahaan yang tidak taat DMO.
Jokowi ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya nasionalisme ekonomi dan bisa mengalahkan kepentingan pasar internasional dengan mengutamakan kepentingan dalam negeri.
Namun, kenyataannya pernyataan itu hanya bersifat retorika belaka. Embargo baru berjalan beberapa hari sudah langsung dicabut. Kali ini Menteri Investasi Luhut Pandjaitan yang mengumumkan pencabutan itu.
Nasionalisme ekonomi Indonesia dipertanyakan. Kedaulatan ekonomi nasional atas pasar internasional menjadi bahan tertawaan. Tekanan pasar internasional ternyata tidak mampu dihadapi oleh Indonesia yang terpaksa mengalah dengan menjilat ludah sendiri.
Perkembangan ini memunculkan pertanyaan mengenai kekuasan seorang presiden. Jokowi dengan gagah mengumumkan pelarangan ekspor, tetapi baru berjalan beberapa hari kebijakan itu sudah dianulir oleh menterinya sendiri.
Bisnis tambang batu bara menjadi kontroversi besar yang penuh misteri. Indonesia adalah salah satu pemasok terbesar pasar batu bara internasional.
Ratusan triliun bisa dihasilkan dari ekspor emas hitam itu. Namun, sampai sekarang kontribusi industri batu bara terhadap kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api.
Bisnis tambang batu bara dikuasai beberapa gelintir elite politik yang menjalin hubungan dengan pengusaha yang kemudian melahirkan oligarki paling kuat di negeri ini. Elite politik itu memperoleh konsesi, proteksi, dan monopoli.
Para elite politik itu juga menjadi pengambil keputusan untuk membagi-bagikan konsesi kepada pengusaha yang bisa bekerja sama dengan para elite itu.
Pada konteks seperti inilah muncul seorang Tan Paulin yang disebut-sebut sebagai orang kuat yang tidak tersentuh hukum.
Konon Tan Paulin tidak sendirian. Kalau dia disebut sebagai ratu tentu ada rajanya. Raja batu bara ini juga tetap bebas beroperasi karena mendapat konsesi dan proteksi dari kekuasaan.
Sebagai imbalannya sang raja memberi kontribusi finansial untuk proyek-proyek perhelatan politik di berbagai level.
Faisal Basri memperkirakan penghasilan ekspor batu bara yang dinikmati para oligarki mencapai Rp 500 triliun setiap tahun. Jumlah itu kurang lebih seperempat dari anggaran belanja nasional.
Kalau ekspor bata bara dikelola dengan benar dan tidak masuk ke lubang sumur hitam yang tanpa dasar, seharusnya ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari sekarang.
Setidaknya anggaran negara tidak perlu tercekik oleh utang luar negeri dan kewajiban membayar bunga seperti sekarang.
Kalau setahun bisa menghasilkan Rp 500 triliun maka dalam lima tahun para pengusaha itu bisa mengumpulkan Rp 2.500 triliun, sebuah jumlah yang mengerikan yang bisa dipakai untuk apa saja, termasuk menjadi bandar politik nasional.
Faisal Basri menghitung, kalau diambil sepuluh persen saja dari penghasilan setahun akan terkumpul dana Rp 50 triliun. Jumlah itu sudah cukup untuk membiayai biaya politik setingkat pilpres.
Para pengusaha itu bisa menjadi bandar yang sangat menentukan dalam perhelatan pilpres setiap lima tahun.
Uang haram sebesar itu cukup untuk membiayai tim sukses, membayar mahar politik, dan membagi uang kepada pemilih untuk membeli suara.
Tiga serangkai itu menjadi fenomena politik yang marak di Indonesia dan menjadi perusak demokrasi Indonesia yang paling utama.
Demokrasi menjadi barang dagangan. Democracy for Sale, kata Ward Berenschot dan Edward Aspinall (2019).
Dua profesor Australia itu melihat bahwa demokrasi Indonesia sudah tergadai kepada para bandar politik dengan maraknya fenomena klientalisme elektoral.
Demokrasi Indonesia rapuh, dalam pandangan Berenschot dan Aspinall, karena partai politik yang menjadi suprastruktur sudah terlebih dahulu rapuh dan keropos. Parpol di Indonesia tidak mempunyai jaringan yang hidup sampai ke level bawah dan tidak pernah menjalin hubungan dengan masyarakat.
Parpol hanya bergerak lima tahun sekali ketika ada pilkada. Kantor-kantor parpol di semua daerah selalu kosong tidak berpenghuni, hanya ada papan nama saja.
Kantor-kantor itu senyap setiap hari karena masyarakat tidak merasa butuh dengan kantor itu.
Namun, begitu akan ada perhelatan pilkada, kantor-kantor itu mendadak semarak dengan berbagai atribut dan gambar calon. Kantor partai yang semula menjadi sarang hantu berubah menjadi kantor pemenangan yang ramai 24 jam.
Pihak yang sibuk lalu lalang di kantor parpol itu bukan hanya aktivis partai, tetapi lebih banyak anggota tim sukses. Tim inilah yang menjadi ujung tombak pemenangan karena lebih efektif dalam menyalurkan uang politik dan lebih efisien dalam melakukan pembelian suara.
Berenschot dan Aspinall yang juga meneliti sistem politik India dan Argentina menemukan bahwa praktik tim sukses adalah praktik yang khas di Indonesia, tidak ada di negara lain.
Di dua negara itu kantor partai aktif setiap hari sepanjang tahun. Masyarakat mendatangi kantor partai untuk meminta bantuan pengurusan administrasi birokrasi, dan meminta bantuan-bantuan pribadi seperti biaya sekolah atau biaya rumah sakit.
Biaya mahar politik yang mahal juga hanya ada di Indonesia. Partai dibayar untuk memenuhi persyaratan thresholds.
Setelah mahar dibayar, partai ditinggalkan karena kandidat lebih percaya kepada tim sukses ketimbang memercayakan uangnya kepada jaringan parpol yang tidak efektif.
Keharusan adanya threshold yang tinggi menyebabkan praktik mahar politik makin mahal. Para kandidat membayar mahal dengan cara beli putus. Setelah mahar dibayar parpol pun ditinggalkan.
Mahar politik yang mahal dan praktik politik uang yang masif membuat para kandidat mencari bandar politik untuk mencari talangan. Imbalannya adalah proyek dan konsesi perizinan setelah kandidat berkuasa.
Lingkaran setan ini terjadi terus-menerus dan sulit untuk diputus. Rezim yang berkuasa membutuhkan bandar-bandar dari kalangan pengusaha, lalu imbalan konsesi dan proteksi diberikan kepada para pengusaha bandar itu.
Tambang batu bara menjadi salah satu sumber uang politik yang paling penting. Karena itu muncul raja dan ratu, yang seolah bebas beroperasi dalam gelap. Itulah yang dicurigai oleh Faisal Basri.
Muhammad Nasir juga punya kecurigaan yang sama. Maka dia pun menyebut nama Tan Paulin sebagai Sang Ratu Batu Bara. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror