jpnn.com - Kita sedang dihebohkan dengan keputusan Nahdlatul Ulama (NU) menerima konsesi tambang dari pemerintah. Sebagian kalangan mengkritik habis langkah NU, sebagian lain mendukung.
Sebagai nahdiyin, dan insyaallah akan terus demikian, saya memilih untuk netral saja.
BACA JUGA: Program Santri Tani Milenial Untuk Cetak Eksportir Milenia
Kedua pihak pasti punya pertimbangan kuat menyikapi keputusan NU yang saya yakini, meskipun beda sikap tapi berangkat dari perasaan yang sama: menyayangi NU.
Memang bukan maksud tulisan saya kali ini membahas tentang keputusan PBNU dalam perkara konsesi tambang.
BACA JUGA: Santri Tani Milenial Berhasil Kembangkan Pertanian Modern Berbasis Korporasi
Saya hendak membahas potensi terbesar kaum sarungan atau santri bagi pembangunan bangsa ini, yang ironisnya kerap dipandang sebelah mata yaitu: pertanian.
Agar mampu mendapat indikator yang solid tentang potensi ini, mari kita gunakan ukuran kebesaran NU sebagai rumah besar santri di negeri ini. Pada 2021, setidaknya 95 juta umat Islam di Indonesia mengaku sebagai nahdliyin.
BACA JUGA: Kementan Dorong Kerja Sama Program Santri Tani dan OPOP
Itu sudah hampir separuh dari total penduduk Indonesia dan mayoritas umat Islam kita. Latar belakangnya tentu saja beragam, dari mulai pedagang, guru, pegawai negeri, politisi, nelayan, hingga kaum tani.
Khusus untuk yang terakhir yakni kaum tani, barangkali ini adalah potret dominan warga NU di masyarakat.
Oleh karena itu antara NU dan petani punya relasi yang sangat kuat. Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy'ary pernah menulis sebuah artikel pada majalah Soeara Moslimin Indonesia dengan judul "Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani", lalu dijabarkan di bawahnya dengan tulisan "Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjuran Mengoesahakan Tanah dan Menegakkan Keadilan".
Hadratus Syaikh menjelaskan bahwa petani adalah benteng terakhir bagi pertahanan negeri.
"Bapak Tani adalah Goedang Kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperluan. Pa' Tani itoelah penolong negeri. Pa' Tani itu djoega menjadi sendi tempat negeri disandarkan", tulis beliau almaghfurlah.
Hal tersebut di atas menjadi legitimasi sejarah dan ilmiah, bahwa antara NU dan secara khusus santri dan Pertanian adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Hadratus Syaikh yang tersohor dengan adagium "Hubbul Wathon minal iman", cinta tanah air adalah sebagian dari iman, maka salah satu cara untuk mewujudkan kecintaan pada negeri adalah dengan memberikan atensi besar pada petani dan juga sektor pertanian.
Sebab, tidak akan bisa terwujud National Resilince (Ketahanan Nasional), jika tidak ditopang dengan Food Resilience (Ketahanan Pangan). Dan Ketahanan Pangan, adalah pintu menuju terwujudnya Kedaulatan Pangan (Food Sovereignty).
Menguatkan Santri Tani
Pada Muktamar NU di Lampung yang lalu, mengambil tema "Satu Abad NU, Kemandirian Dalam Berkhidmat Untuk Peradaban Dunia".
Sebuah tema yang secara bobot dan nilai akan lebih banyak mengarah pada bagaimana organisasi atau jam'iyah ini punya kesadaran lebih untuk memajukan ekonomi warganya.
Dan hemat saya, pertanian adalah salah satu pintu untuk menuju gerbang yang disebut kemandirian tersebut.
Sebab warga NU atau para santri pada dasarnya memang dari dulunya sudah gandrung dengan aneka usaha di bidang pertanian.
Tinggal nanti kita perlu pertajam dan eksplorasi lebih tentang dari sisi mana kita perlu melakukan penguatan.
Jika diurai secara seksama, masyarakat kita perlu pencerahan dan inspirasi tambahan, bahwa dimensi pertanian itu bukan hanya soal budidaya atau on farm.
Bukan hanya di hulu, tapi juga di hilir, yakni proses pascapanen atau off farm. Nah, hilirisasi ini lah yang sejatinya hari ini perlu digalakkan lagi, yakni bagaimana komoditas kita bisa dikemas dengan baik sampai menjadi "produk meja".
Presiden Jokowi pun sangat konsen pada sisi ini, karena hanya dengan cara ini lah produk dari komoditas kita bisa mendapatkan nilai tambah.
Beliau terus menekankan tentang pentingnya hilirisasi dan industrialisasi, agar komoditas kita semakin kompetitif ketika berhadapan dengan market/pasar.
Artinya, kita perlu fokus dan gencarkan pada sisi pengolahan-pengolahan. Penelitian yang berorientasi pada kerja-kerja pascapanen pun perlu dikuatkan.
Agar antara produksi, distribusi, dan observasi berjalan seiring, dan hal ini tentu saja akan berdampak langsung pada menggeliatnya pertanian kita.
Sebab relasi antara Kaum Santri dan Kaum Tani adalah relasi yang kongkrit dan terus berkesinambungan.
Alhasil, menguatkan kaum tani sejatinya adalah menguatkan civil society. Organisasi kemasyarakatan yang melek akan pentingnya melakukan penguatan dari sisi kemandirian ekonomi anggotanya, akan mendapatkan berkah yakni semakin kuat dan kokoh pula eksistensi organisasi tersebut.
Para ekonom sepakat, tantangan dunia ke depan adalah di bidang pangan. Organisasi Pangan PBB, FAO, pun telah mengingatkan seluruh negara dunia untuk menambah pasokan pangannya guna memperkuat ketahanan pangan.
Hal ini lantaran kelangkaan pangan bukan hanya menciptakan kelaparan, tapi juga akan berdampak pada resesi ekonomi dunia.
Ketika hal yang terakhir disebut itu terjadi, dunia akan memasuki era kegelapan yang susah diterka ujungnya.
Indonesia tak terkecuali harus menghadapi tantangan tersebut. Sayangnya, di luar masalah ketersediaan lahan yang kian menipis, jumlah petani kita pun semakin menurun.
Pada titik inilah penguatan santri tani bisa menjadi jawaban atas tantangan bangsa tersebut. Gerakan santri tani harus digalakkan dan didukung pemerintah.
Persis seperti itulah yang telah saya lakukan selama menjadi Wakil Menteri Pertanian.
Secara aktif, selama ini saya mengunjungi pesantren dan kantong-kantong santri untuk mendorong mereka kembali bertani.
Tak hanya bermodal saran, dengan kewenangan konstitusional yang saya miliki program-program pengembangan santri tani diberikan Kementerian Pertanian.
Baik dalam bentuk pelatihan, maupaun akses terhadap modal dan bantuan alat tani.
Banyak yang bertanya kepada saya, “kok hasilynya belum terlihat?”. Saya katakan kepada mereka, mie instan yang sudah tertulis instan saja tak bisa langsung matang seketika.
Perlu proses. Apalagi membangun masa depan penguatan ketahanan pangan nasional. Butuh waktu yang sangat panjang dan kebijakan berkesinambungan. Yang kalau tidak pernah dimulai, maka masa penantiannya akan lebih panjang lagi.
Sekali lagi, seperti kata KH Hasyim Asy’ari, “Pak Tani itulah penolong negeri.”
Penulis Adalah Wakil Menteri Pertanian
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Aristo Setiawan