Para penonton di seluruh dunia akan segera berkesempatan untuk melihat seperti apa kehidupan di dalam salah satu pusat penahanan lepas pantai Australia.

Seorang pengungsi Iran di Pulau Manus telah merilis sebuah film yang ia rekam dari balik dinding pusat penahanan itu.

BACA JUGA: Jalan Raya Khusus Sepeda di Melbourne

Behrouz Boochani, seorang jurnalis Kurdi yang terus menulis artikel di tahanan, membuat film ini sepenuhnya dengan sebuah ponsel.

Ia bekerja sama dengan sutradara Belanda keturunan Iran untuk memproduksi film, yang memberi wawasan unik tentang suatu tempat di mana media tak diperbolehkan untuk masuk ini.

BACA JUGA: Australia Berlakukan Pemeriksaan Keamanan Tambahan di Bandara

"Membuat film di mana saja begitu sangat sulit dan membuat film dari dalam penjara Manus lebih sulit lagi," kata Boochani.

Butuh berbulan-bulan bagi Boochani untuk mengumpulkan materi film, mengirim sejumlah file gambar yang terdiri dari bagian-bagian kecil satu per satu melalui internet ponsel yang sangat lambat -ke rekan sutradaranya, yakni Arash Kamali Sarvestani, di Belanda.

BACA JUGA: Satu Orang Tewas dan 20 Ribu Warga Dievakuasi Akibat Banjir NSW

"Setelah film itu selesai, saya menyadari warna jenggot saya sudah keabu-abuan karena sangat stres. Saya melanjutkan pekerjaan saya sebagai jurnalis pada saat yang bersamaan, jadi saya juga sibuk dengan hal itu,” ungkapnya.

"Itu sangat sulit, sangat sulit," imbuhnya.

Sarvestani mendekati Boochani tentang pembuatan film ini.

Ia awalnya ingin membuat film yang menanyakan bagaimana pendapat anak-anak dalam tahanan Nauru tentang laut, tapi tak bisa menemukan sebuah keluarga di pusat penahanan itu yang bisa diajak kerja sama.

"Saya tak bisa menemukan hubungan di sana," sebutnya. Salah satu sutradara, Arash Kamali Sarvestani, mendekati Boochani untuk memproduksi film ini.

Supplied

Ia mengutarakan, "Tapi saya bisa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sejumlah kamp itu, di Manus dan Nauru, dan setelah beberapa saat, saya benar-benar ingin membuat sesuatu tentang kamp-kamp itu, tak peduli apakah itu Nauru atau Manus.”

"Saya ingin membuat film dengan ponsel pintar bersama seseorang yang ditahan di kamp dan saya menemukan Boochani di Facebook,” ujar Sarvestani.

"Saya melihat banyak artikelnya di The Guardian dan situs-situs lain, jadi saya pikir ia cukup berani untuk menghubungi saya dan memintanya untuk membuat film," imbuhnya.Tak ingin produksi film laga

Film ini berjudul ‘Chauka, Please Tell Us the Time’ (Chauka, Tolong Kasih Tahu Kami Kapan Saatnya).

Judul ini merujuk pada satwa burung di Pulau Manus dan nama blok penjara yang terkenal di dalam pusat penahanan itu -yaitu  tempat yang ditakuti oleh para tahanan. Staf Pulau Manus menurunkan pasokan makanan.

Supplied

Kedua pembuat film mengatakan, mereka ingin menunjukkan kepada publik bagaimana kondisi penahanan tanpa batas waktu.

Mereka percaya, berlalunya waktu dan ketidakpastian yang dialami para pencari suaka tentang nasib mereka telah menjadi penyiksaan.

"Ketika Anda berada di penjara, Anda adalah seorang kriminal dan Anda akan tinggal di sana selama lima tahun, dua bulan, atau 50 tahun dan Anda tahu kapan masa penahanan akan selesai," kata Sarvestani.

"Tetapi orang yang ditahan di pusat penahanan Manus dan Nauru, mereka tak tahu tentang waktu lagi, dan itu benar-benar mengerikan," sambungnya.

Film ini berfokus pada peristiwa sehari-hari di pusat penahanan itu, untuk menyoroti kebosanan tahanan dan waktu yang nampaknya tak berujung di Pulau Manus.

"Kami benar-benar tak ingin membuat film laga," kata Boochani.

Ia menerangkan, "Saya mengambil banyak adegan kekerasan, tapi kami tak menggunakan salah satu dari gambar-gambar itu karena film ini mengacu pada gaya bioskop yang menggunakan keheningan dan puisi dan benar-benar berbeda dari film dokumenter.”

"Kami ingin berbicara dengan para pentonton dalam bahasa yang berbeda," tuturnya. Judul film ini merujuk pada satwa burung dan blok penjara yang terkenal di Pulau Manus.

Supplied Australia tahu aktivitas di Pulau Manus

Pusat penahanan Pulau Manus tetap terlarang untuk awak media dan kru film, dan hanya ada akses terbatas ke pusat penahanan lepas pantai Australia lainnya di Nauru.

Kedua pembuat film ini berharap, film ini akan memberi publik pandangan tentang aktivitas di dalam pusat penahanan yang sama-sama ditolak Pemerintah Australia dan Papua Nugini.

"Australia tahu apa yang terjadi di kamp-kamp itu dan mereka bertanggung jawab atas orang-orang ini di kamp, anak-anak itu, dan kami membuat ini demi kepentingan sejarah," kata Sarvestani.

"Ini harus menjadi bagian dari sejarah Australia," sebut Sarvestani.

Pemerintah Papua Nugini telah menetapkan batas waktu 31 Oktober untuk menutup pusat penahanan Pulau Manus.

Beberapa pengungsi diperkirakan akan dimukimkan kembali di Amerika Serikat, tetapi belum jelas berapa banyak dari mereka yang akan pergi, atau apa yang akan terjadi pada pengungsi lainnya.

Di saat beberapa pengungsi menunggu untuk mempelajari seperti apa masa depan mereka, para penonton di festival film di seluruh dunia akan menonton dan belajar tentang kehidupan mereka. Film ini fokus pada kejadian rutin di dalam pusat penahanan, untuk menyoroti kebosanan yang dirasakan tahanan.

Supplied

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterbitkan: 17:20 WIB 03/04/2017 oleh Nurina Savitri.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dr Yao Chang Gunakan Foto Yang Bagus Sebagai Obat

Berita Terkait