Mozhgan Moarefizadeh hampir saja naik ke perahu pencari suaka menuju Australia yang kemudian tenggelam. Sekarang dia terdampar di Indonesia, ilegal baginya untuk bekerja atau bahkan menikah. Tapi dia tidak punya jalan keluar.
Mozhgan Moarefizadeh sekarang berusia 26 tahun, ambisius, penuh semangat hidup dan sedang jatuh cinta. Dia siap memulai karier, menikah, dan punya anak.
BACA JUGA: Di Kota Ini Kanguru Dan Warga Hidup Berdampingan
Dia siap untuk hidup sepenuhnya tapi semua pilihan itu tidak tersedia untuknya saat ini.
Adalah ilegal baginya untuk menikah, bekerja, atau belajar, dan ia tidak tega melahirkan anak untuk menjalani kehidupa seperti yang dijalaninya sekarang - tanpa hak dasar atau harapan untuk masa depan.
BACA JUGA: Proyek Pembangunan Kapal Selam Masa Depan Australia Ditunda
Hidupnya telah terombang ambing tidak menentu selama lima tahun terakhir, dan sepertinya akan tetap seperti itu untuk waktu yang lama.
Padaha Mozhgan yang berasal dari Iran ini tidak melakukan kejahatan apapun, namun di negerinya dia adalah buronan.
BACA JUGA: Petani Risau Harga Naik Bila Serikat Pekerja Minta Kenaikan Upah
Mozhghn adalah satu dari hampir 14.000 pencari suaka dan pengungsi yang terdampar di Indonesia.Melarikan diri Iran: 'Kami harus mengunci pintu dan pergi' Photo: Memsi tidak bisa menikah secara legal, Mozhgan mensukarelakan waktu luangnya untuk membuat gaun pengantin di Jakarta. (Supplied: Mozhgan )
Di waktu luangnya, Mozhgan membuat gaun pernikahan untuk teman-teman di sebuah apartemen kecil di Jakarta - semuanya dengan sukarela.
Ini adalah keterampilan yang dia dapat dari ibunya, yang mengelola bisnis pengantin di Iran selama lebih dari 25 tahun - hingga pemilihan presiden 2009 secara dramatis mengubah masa depan keluarganya.
Setelah pemilu, pemerintah menerapkan aksi brutal yang membuat ribuan orang menjadi tahanan politik.
Banyak yang melarikan diri dari negara itu.
Bisnis periklanan ayahnya telah mencetak pernyataan dari kandidat oposisi dan unjuk rasa, dan suatu pagi setelah pemilihan, keluarga itu terbangun untuk menemukan tokonya ditutup dan staf ditangkap.
"Para tetangga menelepon dan berkata 'toko Anda diserbu, jangan datang'," kenang Mozhgan. Photo: Ayah Mozhgan, Abdolamir Moarefizadeh, mengabadikan kenangannya tentang Iran dengan karya seni. (ABC RN: Poppy Louise )
"Kami hanya harus mengunci pintu dan pergi. Kami tidak pernah berpikir ini akan terjadi, tetapi itu terjadi dalam hitungan detik."
Mengetahui nasib brutal tahanan politik di Iran, keluarga itu melarikan diri - pertama ke kota-kota lain di Iran.
Ketika itu menjadi terlalu berbahaya, mereka melakukan perjalanan yang menegangkan dan berisiko melalui bandara untuk melarikan diri dengan pesawat, mendarat di Jakarta pada tahun 2013.
Keputusan sepersekian detik yang menyelamatkan hidupnya
Setelah kedatangan mereka di Indonesia, keluarga Mozghan membuat tiga upaya untuk menuju Australia dengan perahu.
Pada upaya keempat, Mozhgan dengan jelas teringat akan rasa takut ketika melihat kerumunan yang menunggu untuk naik ke perahu.
"Begitu banyak orang - sekitar delapan puluh orang," katanya.
"Saya punya perasaan bahwa semua orang akan mati di situ. Saya mulai memberi tahu ibu-ibu, 'jangan naik perahu ini, jangan naik perahu'."
Setelah mengambil paspornya dari tas ayahnya, dia menolak naik ke kapal. Listen to Earshot
Mozhgan is a young asylum seeker stranded in Indonesia, trying to build a life in limbo.
Dia berlari, dan keluarganya segera mengikutinya. Pada pagi hari dia tahu bahwa keputusan sepersekian detik telah menyelamatkan kehidupan keluarganya.
"Sekitar 10 jam kemudian, pagi-pagi sekali, kami mendengar semua orang tenggelam kecuali 25 orang," katanya.
"Kapal itu terbalik karena cuaca buruk. Tiga puluh enam anak tewas."
Keluarga Mozhgan, seperti banyak pengungsi lainnya, telah berhenti berusaha menyeberang ke Australia lewat laut.
Sebaliknya, mereka terdampar, tanpa jalan keluar dari Indonesia, dan tidak ada harapan hidup di sana. Mereka bertahan hidup dengan seutas benang.
Di Indonesia, setelah proses yang berlangsung selama dua tahun, keluarga tersebut dianggap sebagai pengungsi asli dengan klaim sah atas suaka oleh Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR).
Mozhgan mengatakan mereka merasa sangat lega ketika mereka menerima berita itu.
Tapi seiring berlalunya waktu, hal itu membawa mereka sedikit kenyamanan - status pengungsi tidak mungkin membuat mereka melangkah jauh. Photo: Mozhgan Moarefizadeh berharap ingin membangun kembali bisnis pengantin ibunya. (ABC RN: Poppy Louise )
Di sekolah dan universitas Mozghan siswa yang rajin, kerap mendorong orang lain dan menyuruh mereka untuk fokus.
"Saya selalu benci membuang-buang waktu. Saya tidak pernah melihat diri saya hanya memiliki gelar sarjana dan duduk di sini menghabiskan empat setengah tahun hidup saya," katanya.
Sekarang, dia melihat hari-hari berlalu dengan cepat, akhirnya berubah menjadi bertahun-tahun, dan rasa frustrasinya bertambah.
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB, jadi pengungsi dan pencari suaka tidak diizinkan untuk tinggal secara permanen.
Mereka tidak akan dideportasi, tetapi pencari suaka tidak memiliki hak untuk hidup seperti warga biasa.
Pengungsi sangat rentan di Indonesia, tanpa undang-undang untuk melindungi mereka.
Pengungsi dapat ditahan secara sewenang-wenang dan dikirim ke tahanan imigrasi tanpa batas, tanpa jaminan keadilan.
Mozhgan hidup dalam ketakutan akan razia yang menargetkan tempat-tempat pengungsi biasanya tinggal.
Pengungsi yang tinggal di komunitas tidak diizinkan untuk bekerja, dan mengakses perawatan medis sangatlah mahal.
Selain itu, kartu pengungsi PBB tidak diterima sebagai identitas, membuat hal-hal dasar seperti mendapatkan SIM, mencari tempat tinggal, membuka rekening bank, bepergian dengan kereta api, atau memasuki acara publik merupakan tantangan besar.
"Ketika kamu tidak dapat melakukan hal yang paling sederhana, bagaimana perasaanmu?" dia bertanya.
"Tentu saja saya merasa tidak seperti manusia normal."Pusat Pengungsi 'membawa semacam kesenangan sementara' Photo: Di gang sepanjang gedung UNHCR di Jakarta, pengungsi miskin dan pencari suaka tidur di pinggir jalan. (ABC RN: Poppy Louise )
Di jalan berdebu yang membentang di sisi gedung UNHCR di Jakarta, para pengungsi yang miskin dan pencari suaka tidur di jalan.
Setiap bulan Mozhgan mengunjungi mereka, memberikan paket barang-barang perawatan kebersihan yang penting kepada pencari suaka yang tidak memiliki apa-apa.
Melihat betapa sedikit layanan pendukung yang ada bagi pencari suaka di Indonesia mengilhami Mozhgan untuk mengambil tindakan.
Bersama temannya, Jafar Salemi, pengungsi Iran lainnya, ia tahun lalu mendirikan sebuah inisiatif sukarela yang dijalankan oleh pengungsi untuk memberikan dukungan kepada pencari suaka yang berjuang dengan kebutuhan dasar.
Refugee and Asyslum Seeker Information Centre [RAIC] adalah proyek baru, tetapi mereka mengandalkan donasi sukarela.
Meskipun demikian, mereka dengan cepat dibanjiri dengan pengungsi putus asa yang meminta bantuan.
Dalam satu tahun terakhir mereka menghubungkan para pengungsi dengan masalah medis yang mendesak kepada para donor swasta yang dapat membantu membayar pengobatan, dan membantu para pengungsi yang tidur di jalan menuju perumahan.
RAIC mendistribusikan paket perawatan bulanan, dan memiliki situs web dengan informasi untuk pengungsi dalam lima bahasa.
Memelopori RAIC telah memberi Mozhgan dan Jafar rasa bertujuan dan proyek yang berarti untuk mengisi hari-hari tanpa lelah.
Melihat betapa bersyukur bantuan mereka diterima "membawa semacam kesenangan sementara," kata mereka.
Namun Mozhgan mengatakan pekerjaan sukarela ini memiliki sisi buruk. Photo: Lima tahun terakhir, Mozhgan dan Patrick dipaksa untuk membuat hidup mereka dalam penantian. (ABC RN: Poppy Louise )
"Depresi saya menjadi lebih buruk ketika saya mulai melakukan RAIC sebenarnya, ketika saya mulai mengetahui lebih banyak tentang masalah pengungsi ... ketika saya mulai mengetahui sistem," katanya.
Bertemu bayi yang kekurangan gizi, orang dewasa yang hidup dengan sakit kronis, anak-anak cacat terjebak di tempat tidur selamanya - yang semuanya sangat membutuhkan bantuan - membuat Mozhgan merasa kewalahan oleh rasa putus asa.
Sementara dia melakukan apa yang dia bisa untuk mendukung mereka, dia juga berjuang dengan tantangan pribadi.
Dia bertanya-tanya berapa lama tunangannya akan bertahan bersamanya ketika dia tidak bisa menikah secara legal atau memiliki anak; tidak bisa bepergian dengannya, tidak bisa bekerja, dan tidak bisa memikirkan masa depan.
Dia tidak asing dengan pikiran untuk bunuh diri.
"Di negara kami, kami mungkin ditangkap, dipenjara, disiksa, atau meninggal. Itu akan berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, tetapi di sini kami akan mati secara bertahap," katanya.
"Serius, kadang berharap saya bisa kembali ke asal dan mati di sana. Lebih baik daripada tinggal di sini dan mati setiap hari." If you or someone you know needs help, call:Emergency on 000 (or 112 from a mobile phone)Lifeline on 13 11 14Kids Helpline on 1800 551 800MensLine Australia on 1300 789 978Suicide Call Back Service on 1300 659 467Beyond Blue on 1300 22 46 36Headspace on 1800 650 890
Hanya 1 persen dari pengungsi di seluruh dunia yang dimukimkan kembali dalam hidup mereka, menurut UNHCR.
Sebelum 2013, Australia adalah negara yang memukimkan kembali sebagian besar pengungsi dari Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, baik Australia maupun Amerika Serikat telah secara dramatis mengurangi jumlah pengungsi yang mereka ambil dari negara tersebut.
Sekarang, begitu sedikit pengungsi yang diterima dari Indonesia hingga UNHCR mulai menginformasikan pengungsi dan pencari suaka bahwa mereka mungkin tidak akan pernah dipindahkan, dan harus mencari cara untuk kembali ke rumah, atau terbiasa hidup di tempat mereka berada.
Mozhgan mengatakan itu adalah prospek yang sulit. Kembali ke Iran adalah mustahil; penjara, interogasi, dan kemungkinan kematian akan menunggu.
Peluang dimukimkan kembali sangat tipis.
"Jika saya bisa kembali, itu akan menjadi hari paling bahagia dalam hidup saya," katanya.
"Tapi kami tidak punya pilihan itu."
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menguji Klaim Kesehatan Diet Paleo Obati Kanker