Pilar putih raksasa, kolam renang berwarna biru, fasilitas gym komplet, garasi berisi mobil mewah - karakteristik rumah Presiden Sri Lanka yang menjadi puncak kemewahan negara tersebut.
Dulu, tempat tersebut adalah yang terbentengi, jauh dari jangkauan warga Sri Lanka yang tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan dasar seperti makanan dan bahan bakar selama berbulan-bulan di tengah krisis ekonomi yang melumpuhkan.
BACA JUGA: Kegigihan Pulau Kecil di Solomon Menolak Investasi Tiongkok
Namun kini, kediaman tersebut sudah diambil alih oleh warga yang menolak pergi sampai menyaksikan sang Presiden mengundurkan diri demi sebuah "perubahan sistemik."
Ribuan orang menyerbu properti tersebut Sabtu lalu (09/07) dan untuk pertama kalinya, Presiden Gotabaya Rajapaksa bertukar tempat dengan rakyatnya.
BACA JUGA: Good Perfect
Warga Sri Lanka yang biasanya tidak memiliki listrik di rumahnya bisa menonton kriket di TV layar kediaman Presiden.
Setelah berbulan-bulan kekurangan makanan, dan melihat persediaan makanan di ibu kota Kolombo diperkirakan akan habis seluruhnya pada bulan September, mereka menikmati makanan ringan dan membuat kari di dapur rumah tersebut.
BACA JUGA: Rajapaksa
Mereka yang setiap harinya menunggu berjam-jam dalam antrean bahan bakar, gas memasak, dan makanan selama beberapa bulan terakhir berfoto selfie sambil berbaring di tempat tidur dan sofa Presiden.
"Sangat tidak nyata saya bisa berjalan di rumahnya, kemewahannya luar biasa di saat orang-orang sekarat mengantre [bahan bakar], dan kelaparan karena cuma bisa makan nasi dan kari setiap hari," ujar pengunjuk rasa Jeana De Zoysa kepada ABC.
"Kami bahkan tidak sempat menjelajahi seluruh rumah karena sangat besar… Saya tidak tahu harus berpikir apa saat berada di sana.
"Tapi kami masih sedikit takut ada tentara yang akan menyerbu kami di sana."
N A Ajith adalah salah satu satpam yang bekerja di rumah Presiden. Karena kelangkaan bahan bakar, dia tidak bisa naik bus ke tempat kerjanya saat diserbu hari Sabtu.
"Saya seharusnya masuk kerja tapi ada masalah besar. Saya tidak dapat bus ke tempat kerja, jadi saya harus jalan kaki," katanya.
"Masyarakat harus menjaga properti pemerintah, tetapi pemerintah perlu menyediakan bahan bakar, mengurus sekolah anak-anak.
"Saya satpam di kediaman Presiden dan saya berharap tidak akan dipecat karena saya ayah dari dua anak yang kesulitan."
Ketua parlemen Sri Lanka mengatakan Presiden berencana untuk mundur dari posisinya pada hari Rabu lalu (06/07), sebuah kemenangan bagi para pengunjuk rasa yang telah menyerukan pengunduran dirinya selama berbulan-bulan.
Tetapi pemimpin itu belum terlihat atau terdengar sejak rumahnya diambil alih, melarikan diri ke lokasi yang tidak diketahui sebelum para pengunjuk rasa tiba.
Para ahli memperingatkan bahwa yang terjadi selanjutnya akan menjadi momen sangat penting bagi masa depan Sri Lanka: negara tersebut bisa menjadi anarkis atau mengalami perubahan sistemik yang disebabkan unjuk rasa.
"Kami berada di 'persimpangan jalan'. Kami mengalami krisis yang tiada duanya, yang hasil akhirnya tergantung pada jalur mana yang akan kami lewati," kata ekonom Sri Lanka Murthazar Jafferjee.
"Entah kita akan menjadi negara gagal, atau ini akan menjadi kesempatan sekali dalam satu generasi untuk berubah.
"Semoga dalam 10 tahun, kita bisa menjadi negara yang lebih tangguh jika perubahan yang diperlukan terwujud." Menuntut reformasi dan Pemilu
Sri Lanka telah menderita selama berbulan-bulan di tengah inflasi yang melonjak dan tiadanya cadangan devisa yang menyebabkan pasokan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar dalam stok kritis.
Pemadaman listrik yang terjadi terus-menerus ditambah kondisi yang memburuk tanpa solusi yang jelas, dan orang-orang yang telah melakukan unjuk rasa selama berbulan-bulan.
Banyak warga menyalahkan Pemerintahan keluarga Rajapaksa yang dulu berkuasa atas masalah manajemen yang tidak kompeten, dengan menuduh mereka menggunakan kekayaan negara untuk keuntungan pribadi.
Pemerintah telah mencoba menghentikan demonstrasi serta memerintahkan polisi untuk menembakkan gas air mata dan meriam air ke kerumunan, mempercayakan kekuatan yang lebih besar kepada militer.
"Para pengunjuk rasa memakan waktu lama untuk mendobrak barikade, menerobos gas air mata dan meriam sampai kami tiba di depan," kata De Zoysa.
"Saya termasuk dalam 100 orang pertama yang masuk ke rumah Presiden.
"Mereka menyerang kami dengan meriam air, putaran demi putaran gas air mata yang sangat kuat dan untuk orang-orang di depan, memukul dengan tongkat dan menembakkan peluru tajam."
Saksi lain mengatakan kepada Reuters bahwa polisi melepaskan tembakan ke udara. ABC tidak dapat memverifikasi apakah ada pengunjuk rasa yang menjadi sasaran atau ditembak oleh pasukan keamanan.
Mahinda Rajapaksa, Perdana Menteri Sri Lanka sebelumnya dan saudara laki-laki Presiden, mengundurkan diri pada Mei lalu untuk menenangkan para pengunjuk rasa.
Tetapi pada akhirnya, mereka menuntut Presiden untuk mundur, dengan setiap hari meneriakkan "Gota Go Home", yang berarti mundurlah Gota.
Partai-partai oposisi Sri Lanka diperkirakan akan membentuk "pemerintahan segala partai" jika Presiden mengundurkan diri, dengan juru bicara Presiden, Mahinda Yapa Abeywardena, akan naik sebagai presiden sementara sampai anggota parlemen memilih pemimpin baru.
Tapi Jafferjee mengatakan negara perlu mengadakan pemilihan agar orang dapat mempercayai pemerintah berikutnya.
"Yang paling penting adalah kebutuhan legitimasi politik dan saya khawatir pemerintah yang kita miliki saat ini tidak memiliki legitimasi," katanya.
"Jadi kita perlu mengadakan pemilihan. Yang saya ketahui butuh periode minimum enam minggu untuk menempatkan pemerintahan baru dengan mandat baru yang akan memiliki stabilitas di Parlemen."
Para pengunjuk rasa juga telah menyerukan perubahan sistemik untuk menjauhkan "kekuatan otoriter" dari tangan presiden.
Presiden Sri Lanka memiliki kekuasaan besar untuk menunjuk dan memecat menteri, di samping mengontrol pemilihan umum, pelayanan publik, polisi, dan komisi investigasi korupsi.
Pakar hukum mengatakan satu-satunya cara kekuasaan eksekutif itu dapat ditumpahkan adalah melalui referendum.
"Jika ingin benar-benar merebut kursi kepresidenan eksekutif, tidak bisa hanya ke Parlemen, tetapi harus dipindahkan ke rakyat melalui referendum," ujar Saliya Peiris, dari Asosiasi Pengacara Sri Lanka.
"Jika ingin menghapus keseluruhan kepresidenan eksekutif, semuanya kembali rakyat melalui referendum."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demonstran Serbu Kediaman Presiden, Barikade Polisi Dihantam, Mencekam!