jpnn.com, JAKARTA - Produsen listrik dari energi baru terbarukan (EBT) meminta pemerintah mengubah Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2017.
Mereka menilai harga listrik yang ditawarkan pemerintah belum menarik bagi investor.
BACA JUGA: Tiang Listrik Ambruk, PLN Hitung Potensi Kerugian
Wakil Ketua Umum Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Halim Kalla menuturkan, sebelum aturan itu terbit, pihaknya masih menikmati skema yang menarik untuk harga EBT.
’’Sebelumnya bisa dapat 115 persen dari biaya pokok produksi (BPP). Lantas, turun menjadi seratus persen dan kini turun lagi menjadi 85 persen secara flat dari awal sampai seterusnya,’’ papar Halim, Selasa (3/10).
BACA JUGA: Konsumsi Listrik 4 Pusat Perbelanjaan di Jakarta Menurun
Peraturan menteri tersebut memang mengatur harga listrik berbasis EBT maksimal 85 persen dari BPP listrik di PLN setiap wilayah.
Produsen mengusulkan harga listrik berbasis EBT maksimal 135 persen dari BPP pada delapan tahun pertama.
BACA JUGA: 11 Produsen Listrik EBT Akhirnya Teken PPA
Setelah itu, turun menjadi seratus persen pada delapan tahun berikutnya.
Setelah 16 tahun, pengusaha sepakat dengan harga listrik 85 persen dari BPP karena produsen sudah mencapai titik impas (breakeven point).
’’Jika seperti itu sistemnya, EBT akan susah mencapai target. Sebab, selain terkendala harga, produsen EBT dibebani bunga kredit mahal, pembelian lahan, maupun aturan perpajakan,’’ terang Halim.
Dia mencontohkan, pemerintah meminta harga listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sama dengan di Dubai, yakni USD 2 sen per kilowatt hours (kWh).
Padahal, investasi di Dubai dipenuhi fasilitas. Mulai bunga kredit nol persen, beban pajak minim, lahan gratis, hingga jaringan transmisi yang memadai.
’’Ini tidak apple-to-apple,’’ ujar adik Wapres Jusuf Kalla tersebut.
Selain itu, pembangkit listrik yang dibangun di Dubai berskala besar dengan daya mencapai 2–3 ribu mw sehingga lebih efisien.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan investasi listrik di Indonesia yang dibebani bunga 10–12 persen, harga lahan tinggi, dan transmisi yang jauh dari pembangkit.
’’Seharusnya bunga kreditnya 5–6 persen. Jika tidak, target proyek ini mustahil tercapai,’’ tuturnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menilai target bauran energi dari EBT sebesar 25 persen pada 2025 sulit tercapai.
Sebab, dibutuhkan pembangkitan 45 ribu mw dari EBT. Padahal, saat ini kapasitas pembangkitan EBT baru 7.500 mw.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kebutuhan pembiayaan untuk proyek EBT hingga 2030 mencapai Rp 1.445 triliun. (vir/c14/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tingkatkan Rasio Elektrifikasi, PLN Bangun PLTU Jawa 4
Redaktur & Reporter : Ragil