Penindakan Terukur dan Akuntabel Terhadap Teroris Dibenarkan

Kamis, 01 April 2021 – 23:49 WIB
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Setelah teror bom di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021, pelaku terorisme lone wolf (tindakan sendirian) berusaha menyerang Mabes Polri, namun dilumpuhkan oleh aparat.

“Lone wolf merupakan strategi mutakhir di kalangan kelompok dan jaringan teroris. Strategi tersebut memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (1/4).

BACA JUGA: Hendardi Sebut Nikita Mirzani Secara Satir Mengkritik Keras Kerumunan Beberapa Hari Terakhir

Menurut Hendardi, dua peristiwa teror terakhir di Makassar dan di Jakarta menunjukkan kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia, termasuk dengan menggunakan strategi lone wolf.

Dia menjelaskan Jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) adalah salah satu jaringan terorisme yang paling menonjol mengadopsi strategi lone wolf dalam menjalankan tindakan teror.

BACA JUGA: Terima Perintah Khusus dari Presiden Jokowi, Panglima TNI Langsung Datang ke Katedral Jakarta

Menurut dia, JAD mengapitalisasi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan memanfaatkannya secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik dengan menyasar kelompok-kelompok spesifik, yang memiliki potensi transformasi secara cepat untuk menjadi intoleran aktif, radikal, lalu jihadis dan melakukan amaliyah teror.

Hendardi menyebut eEksistensi kelompok teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat.

BACA JUGA: Reaksi Brigjen TNI Jubei Levianto Tentang Aksi Bom Bunuh Diri di Makassar

Di sisi lain, kata dia, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme. Hal itu mendorong masyarakat menjadi permisif, karena berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu.

Padahal, dua aksi terakhir, misalnya, menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa warga masyarakat. Demi melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga, tindakan polisional yang terukur dan akuntabel, untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya dibenarkan, (permissible) dalam perpsektif hukum dan hak asasi manusia.

Namun, penyesatan opini yang mendeligitimasi tindakan koersif negara dalam menangani aksi terorisme masih terus berlangsung. Hal itu jelas menjadi kampanye distortif atas kinerja pemberantasan terorisme di satu sisi, dan semakin memperluas ruang radikalisasi publik dan memperkuat sikap permisif warga, di sisi lain.

Padahal, ruang-ruang publik yang permisif terhadap intoleransi dan radikalisme merupakan enabling environment atau lingkungan yang membuat dan mempercepat tumbuhnya terorisme dan rekonsolidasi jaringan dan sel-sel tidur terorisne

Terakhir, terorisme merupakan musuh bersama. Oleh karena itu, mobilisasi sumber daya dan dukungan bersama jelas dibutuhkan.

Penanganan terorisme, mulai dari pencegahan hingga penindakan yang bersifat terukur dan akuntabel, harus dilakukan secara simultan untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara. Masyarakat mesti berpartisipasi dalam pencegahan dan aparatur negara harus melakukan tindakan hukum yang akuntabel dan terukur dalam bentuk penindakan.

“Sinergi demikian akan membentuk imunitas kolektif dari penyebaran terorisme melalui saluran apapun, termasuk dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti media sosial dan internet,” ujar Hendardi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler