Pusat detensi imigrasi di Pulau Manus, Papua Nugini, melarang pasokan makanan dengan merek "freedom" karena dinilai tidak sesuai dengan kondisi yang sedang dialami 1.035 orang pencari suaka ke Australia tersebut.
Penjara yang merupakan pusat detensi imigrasi ini dikelola oleh pihak ketiga, Transfield Services, yang mendapatkan kontrak pengelolaan dari Pemerintah Australia.
BACA JUGA: Oknum PNS di Canberra Tuntut Pemerintah Tanggung Biaya Operasi Plastik Payudaranya
Menurut informasi yang diperoleh ABC, pengiriman makanan jadi senilai 30 ribu dolar (sekitar Rp 300 juta) itu telah tiba di pulau milik Papua Nugini tersebut dua pekan lalu.
Kontraktor pemasok makanan itu mengaku secara khusus mendapat permintaan untuk mendatangkan makanan jadi merek Freedom, yang diproduksi perusahaan makanan Freedom Food di Sydney.
BACA JUGA: Tony Abbott Sebut Dirinya Kapten Tim Pemerintahan yang Baik
Namun, pihak pengelola penjara, Transfield Services, menolak menerima makanan tersebut.
Konon penolakan ini terjadi setelah pihak Departemen Imigrasi Australia turun tangan.
BACA JUGA: 65 Ribu Anak Australia Pernah Alami Pelecehan Seksual di Institusi Keagamaan
Pernyataan Departemen Imigrasi membantah turut campur dalam urusan ini, dan menunjukkan hal itu sebagai urusan pihak pengelola dan pemerintah Papua Nugini.
Namun sumber ABC menyatakan larangan ini diambil dengan pertimbangan, kata "freedom" yang artinya kebebasan sangat tidak sensitif dengan kondisi yang sedang dijalani para tahanan imigrasi tersebut.
Hingga Desember 2014 lalu terdapat 1.035 tahanan di Pulau Manus, dan kondisi mereka menjadi sorotan PBB yang menyebutnya sangat memprihatinkan.
Laporan terakhir menyebutkan sekitar 700 orang di antaranya ikut aksi mogok makan belum lama ini dan sekitar 14 orang bahkan menjahit mulut mereka sebagai bentuk protes.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nenek Sukumaran Mohon Presiden Jokowi Ampuni Cucunya