Penjelasan Kemenag Soal Duduk Perkara Lahan UIII yang Diklaim Sejumlah Warga Kampung Bojong Malaka

Jumat, 10 Maret 2023 – 11:10 WIB
Proses penertiban lahan yang dilakukan Kemenag bersama tim terpadu UIII. Dok Tim terpadu penertiban lahan UIII.

jpnn.com, DEPOK - LSM Keramat dan sejumlah warga Kampung Bojong Malaka, Cisalak, Sukmajaya, Depok atas lahan UIII hingga kini masih terus menyuarakan tuntutan ganti rugi atas lahan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Mereka juga telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negari (PN) Depok.

BACA JUGA: Pemilik Tanah Terdampak Tol Bawen-Yogyakarta Terima Ganti Rugi, Sebegini

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) RI melalui kuasa hukumnya, Misrad membenarkan informasi bahwa pendemo dan warga yang menuntut ganti rugi atas beberapa bidang lahan UIII itu telah melakukan gugatan ke Pengadilan Negari (PN) Depok.

Namun, kata Misrad berdasarkan putusan PN Depok, gugatan mereka tidak dapat diterima.

BACA JUGA: Proses Ganti Rugi Korban Lumpur Lapindo Ternyata Belum Tuntas

“Akhirnya mereka demo. Ini demo yang ke tiga kalinya, ke sini dua kali, ke Kemenag sekali. Mereka meminta menuntut ganti rugi. Padahal, sebetulnya mereka itu bukan penduduk situ dan tidak menguasai fisik tanah itu. Mereka itu di luar sini dan menurut ceritanya sejak tahun 1965 sudah tidak menempatkan ini. Jadi tidak tahu juga batas-batas tanah, di mana tanahnya itu. Jadi, biasalah mereka itu mencari-cari kesempatan, siapa tahu dapat, kan gitu,” kata Misrad dalam keterangan resmi yang diterima JPNN, Jumat (10/3/2023).

Misrad mengatakan setiap kali LSM dan sejumlah warga itu melakukan demo, pihaknya selalu terbuka dan bahkan selalu memfasilitasi agar apa yang menjadi aspirasi dan tuntutan pendemo bisa tersampaikan.

"Bahkan waktu demo ke Kementerian Agama itu langsung diterima oleh Kemenag, waktu demo di sana. Di sini juga dua kali kami terima. Jadi artinya apa yang menjadi keinginan mereka sudah kami sampaikan dan sudah dibahas secara hukum,” ungkap Misrad.

Terkait dengan tuntutan pendemo, Misrad menjelaskan pemerintah tidak dapat menenuhi sepanjang tidak ada dasar hukumnya. Terutama minta ganti rugi. Karena terhadap tanah ini, siapa pun tidak ada yang namanya ganti rugi.

"Semua itu hanya diberikan uang santunan. (Uang santunan) Itu berdasarkan peraturan Presiden No. 62 2018, bukan ganti rugi,” jelasnya.

Lebih lanjut Misrad menjelaskan, alasan pemerintah hanya memberikan santunan kepada warga penggarap yang memenuhi syarat karena tanah tersebut sudah bersertifikat sejak tahun 1981 atas nama Departemen Penerangan.

Dan kemudian dialihkan sertifikat Kementerian Agama. Jadi, statusnya menjadi tanah/aset Pemerintah Republik Indonesia.

“Jadi, tidak mungkin kita memberikan uang ganti rugi terhadap tanah yang sudah Sertifikat. Itu sama saja kami membeli tanah sendiri. Nah itu sudah tidak mungkin secara hukum. Yang mungkin itu hanya bisa memberi uang santunan. Itupun ada beberapa syarat, di antaranya harus menguasai fisik 10 tahun minimal,” imbuhnya.

“Nah mereka menempatin ini 1965, bagaimana bisa mendapatkan itu. Dan di objek tanah itu, yang mereka klaim-klaim itu sudah ada penggarap lain yang sebagian sudah mendapat uang kerohiman, dan sebagian lain sedang proses untuk mendapatkan uang kerohiman. Jadi, secara hukum tidak memungkinkan mereka mendapatkan uang ganti rugi,” sambungnya.

“Pesan saya, kalau memang mereka (warga) mau memperjuangkan haknya, melalui jalur-jalur formal. Misalnya ke Pengadilan, itu. Kalau mereka meminta semacam kebijakan, sampai hari ini secara hukum tidak memungkinkan untuk berikan kebijakan ganti rugi kepada mereka,” tambahnya.

“Putusan pengadilan itu menyatakan gugatan mereka tidak dapat diterima. Namun, poinnya bukan di situ. Pertimbangan majelis hakim waktu itu, kebetulan saya yang ikut sidang. Pertimbangan majelis hakim kenapa gugatan mereka tidak dapat diterima? karena mereka tidak dapat menunjukan batas-batas pasti lokasi tanah itu."

"Yang kedua, di atas tanah yang mereka tuju itu, sudah ditempati orang semua, para penggarap yang mereka secara legal berdasarkan peraturan Presiden No. 62, itu berhak mendapatkan uang santunan, karena mereka sebagian sudah mendapat uang santunan memunuhi syarat 10 menempati. Jadi putusan itulah pertimbangannya, karena mereka tidak dapat menunjukan lokasi tanah dan di atas itu sudah ditempati oleh orang-orang lain,” tutupnya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler