jpnn.com, JAKARTA - Sebuah buku berjudul “Panggung Demokrasi 2021” yang ditulis oleh wartawan senior Suradi, MSi memberi perspektif historis yang kuat tentang bagaimana penyelesaian konflik internal yang terjadi di sebuah partai politik.
Meski terjadi pada seabad silam, tetapi benang merah masalah tersebut masih sangat relevan dengan persoalan politik saat ini.
BACA JUGA: Bedah Buku Biografi Gus Yahya, Mengupas Hal Menarik Sejak Lahir
Apa yang diungkap dalam buku yang baru terbit tersebut? Pada keterangan tertulis, Suradi menyebutkan di buku ini dia membedah konflik internal dalam Partai Sarekat Islam (PSI) pada dekade kedua abad XX.
Dua tokoh yang mewakili kaum muda dan tua serta ideologi Islam dan Komunis yakni Haji Agus Salim dan Semaoen menjadi sentral dalam pembahasan buku ini.
BACA JUGA: YAICI, PP Aisyiyah, dan Muslimat NU Launching-Bedah Buku Hasil Penelitian
Dua kubu, kelompok Haji Agus Salim dan Semaoen saling berdebat dan meyakinkan pendukungnya melalui surat kabar dan rapat-rapat partai.
Dapat dikatakan, panggung politik saat itu cukup riuh, di samping persoalan yang ada di tanah jajahan yang masih bernama iIndia Belanda.
BACA JUGA: Bangga Menjadi Guru SMA 8 Jakarta: Memoar Wartawan dan Pendidik Bernama Suradi
Guna mencari penyelesaian konflik, disepakati menggelar Kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam (KLB-CSI) di Surabaya pada 6-11 Oktober 1921.
KLB ini digelar untuk menyelesaikan konflik di antara pemimpin Sarekat Islam (SI) yang berbeda pandangan dan haluan atau strategi perjuangan, menghadapi situasi perubahan masyarakat di awal tahun 1920-an.
Nah, menariknya, lanjut Suradi, KLB benar-benar menjadi ‘panggung demokrasi’ sebab masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pemikiran, konsep, strategi, dan landasan (isme) perjuangan.
Tidak ada banting meja atau kekerasan yang sering kita lihat dalam penyelesaian konflik internal partai di masa modern.
Bahkan, ungkap Suradi, ketika konflik tetap tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sangat beradab yakni dengan berbagai argumentasi di forum KLB, maka jalan akhir ditempuh dengan pemungutan suara atau voting.
Suradi menjelaskan sejarah telah mencatat bahwa dalam KLB yang mempertemukan pihak yang berkonflik.
Dalam konteks ini kelompok Haji Agus Salim dan kelompok yang masih relatif muda dan dianggap revolusioner, Semaoen berakhir dengan disiplin partai, setelah hasil voting menunjukkan kelompok Haji Agus Salim lebih banyak pendukung.
Semaoen kemudian dikeluarkan dari Sarekat Islam dan lebih banyak aktif bahkan sebagai pemimpi Partai Komunis Hindia yang kemudian berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Buku baru “Panggung Demokrasi 1921: Haji Agus Salim VS Semaoen” ini dikonsep secara simpel, tidak bertele-tele dan fokus pada satu topik saja.
Oleh karena itu, kata Suradi, bentuk bukunya juga kecil dan tidak tebal. Tujuannya, seperti konsep penerbitan buku seri "For Beginners" yakni bagaimana konsep-konsep serius dijelaskan dalam buku dengan sederhana, menarik, namun komprehensif.
Suradi, penulis buku ini ketika menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Sejarah UI, meneliti Sarekat Islam, khususnya pemikiran Haji Agus Salim.
Tugas akhirnya di FSUI kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam” yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (1997) dan diberi pengantar Dr. Taufil Abdullah.
Buku ini kemudian dicetak ulang Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2014. Sejumlah buku politik dan biografi telah lahir dari tangan Suradi.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich