jpnn.com, JAKARTA - Anak merupakan generasi penerus yang harus dijaga kesehatannya dan tumbuh kembangnya dengan memberikan asupan yang sesuai dengan usianya.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, khususnya orang tua untuk mengetahui literasi gizi.
BACA JUGA: Cegah Stunting dan Gizi Buruk, YAICI Lanjutkan Edukasi Program G21H
Terkait dengan itu, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia (YAICI) mengadakan launching dan bedah buku yang berjudul “Masa Depan Anak Indonesia Terganggu Susu Kental Manis”.
Hadir dalam acara tersebut, antara lain Ketua Harian YAICI Arif Hidayat, peneliti PP Aisyiyah Dr Tria Astika, dokter sekaligus penyair dr Handrawan Nadesul, dan pegiat literasi Maman Suherman.
BACA JUGA: 7 Fakta Kasus ABG Diduga jadi Budak Seksual AKBP M, Ada yang Baru
Arif Hidayat mengatakan penulisan buku tersebut berangkat dari hasil penelitian yang dilakukan YAICI bersama para mitra di beberapa daerah di Indonesia.
Berdasarkan temuan YAICI di lapangan, Arif mengungkapkan, pemahaman masyarakat mengenai gizi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari bagaimana persepsi masyarakat mengenai susu kental manis.
BACA JUGA: Laksamana Muda Arsyad Pastikan Prajurit TNI AL yang Terlibat Akan Ditindak Tegas
Dari temuan di lima provinsi di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, dan NTT didapati angka yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 28,96 persen masyarakat mengatakan bahwa SKM ialah susu pertumbuhan.
“Bahkan, sebanyak 16,79 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari. Padahal, fakta menyebutkan SKM tidaklah sama dengan susu dan tidak dapat mendukung tumbuh kembang kesehatan anak. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa kandungan gula SKM sangatlah tinggi, yaitu 51 persen - 56 persen dengan kandungan lemak SKM berkisar 43 persen - 48 persen, yang artinya produk SKM ini dapat dikategorikan sebagai bukan susu melainkan pemanis dengan perisa susu,” kata Arif saat peluncuran dan didkusi buku “Masa Depan Anak Indonesia Terganggu Susu Kental Manis,” di Jakarta, Jumat (25/2).
Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Chairunnisa mengatakan mengapa masyarakat masih mengonsumsi kental manis, karena kental manis cepat mudah terjangkau didapat di pelosok-pelosok dan murah.
“Hal ini ada korelasi dengan penelitian kami. Salah persepsi SKM dikonsumsi oleh masyarakat,” kata Chairunnisa.
Sementara itu, peneliti dari PP Aisyiyah Tria Astika mengatakan dampak konsumsi kental manis tidak hanya stunting, anak juga terkena anemia.
"Dengan terbitnya buku ini, diharapkan akan memberikan informasi, intervensi yang diberikan ini sudah benar atau belum,” ujarnya.
Dokter sekaligus penyair dan penulis dr Handrawan Nadesul mengatakan buku ini merupakan legitimasi betapa masyarakat tidak tahu dan tak paham tentang gizi.
BACA JUGA: Tengah Malam Prajurit TNI AL Menggerebek Rumah Milik RR, Ada Puluhan Pria dan Wanita
Jadi, tidak heran masih banyak anak dan balita mengonsumsi susu kental manis. Padahal, ini yang mengakibatkan anak tidak cukup gizi, karena proteinnya rendah.
"Dua tahun pertama adalah usia emas, kecerdasan, dan masa depan anak ditentukan oleh dua tahun pertama ini. Karena itu, jangan disia-siakan,” katanya.
Maman Suherman, selaku pegiat literasi mengapresiasi kepada YAICI yang telah berjuang. Menurutnya, masalah minat baca di Indonesia bukan hanya tidak suka membaca.
“Bukan masalah Indonesia yang tidak suka baca. Persoalannya ialah jauhnya akses ke baca. Masyarakat bisa membaca, tetapi persoalannya paham enggak dengan apa yang dibaca? Ini yang menjadi persoalan literasi. Sebagai contoh, susu kental manis sudah jelas tertata kandungan gula tinggi dan protein rendah, tetapi tetap disebut susu dan diberikan untuk anak. Di supermarket tetap ditaruh di rak susu. Ini, kan, menandakan kita tidak paham dengan apa yang kita baca,” kata Maman Suherman. (rhs/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti