PENTING! Enam Rekomendasi Kapolri Soal Terorisme

Senin, 25 Januari 2016 – 17:39 WIB
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bersama Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan, Kabareskrim Komjen Anang Iskandar dan jajarannya mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR, Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/1). Rapat tersebut membahas isu-isu aktual. FOTO: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menyampaikan 6 hal penting berkaitan dengan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terutama demi penguatan kewenangan institusi Polri melakukan pencegahan.

Alasannya, menurut Badrodin, karena belum adanya aturan yang bisa menjerat tindakan pendahuluan terorisme, seperti doktrin radikal, cuci otak, rekrutmen baiat yang menyimpang, ceramah provokatif, ajakan medsos, hingga pelatihan militer secara tidak sah.

BACA JUGA: Kasus Damayanti Wisnu Putranti Bikin Pensiunan Bina Marga Malu

Begitu juga berkaitan dengan rencana penggabungan diri seseorang ke dalam kelompok radikal baik di dalam atau di luar negeri.

“Rekomendasi kami perlu dilakukan revisi UU penangulangan terorisme yang dapat menjadi dasar dalam penindakan oleh Polri," kata Badrodin, dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR, Senin (25/1).(fat/jpnn)

BACA JUGA: Mengharukan...Seperti Ini Pesan Panji Hilmansyah untuk Ayahnya



6 Rekomendasi Polri untuk dimasukkan dalam revisi UU Terorisme:

  1. Dalam revisi UU 15/2003 difokuskan untuk penguatan Polri dalam bukan penanggulangan terorisme, baik pencegahan, penegakan hukum dan deradikalisasi.
  2. Penambahan bab dan pencegahan, dan dimasukan strategi preventif -prevention detection detention- ketentuan kesiapan tindak pidana dapat dilakukan penahanan dengan unsur 'patut diduga', ketentuan tersebut adalah lex spesialis KUHAP dan KUHP.
  3. Perluasan kategori tindak pidana terorisme, antara lain, doktrin radikal, cuci otak, baiat terhadap organisasi  teroirs, ceramah provokatif, pelatihan kemampuan ala militer secara tidak sah, dapat digolongkan Tindak Pidana Terorisme.
  4. Ada penguatan dalam hukum acaranya, yaitu penangkapan, yang semula 7 hari menjadi ‎30 hari, penahanan yang semula 180 hari diusulkan menjadi 240 hari.
  5. Kemudian, persidangan melalui telekonfrens untuk pemeriksaan saksi, karena saksi ini dilindungi dan terancam oleh mereka, sehingga perlu persidangan melalui telekonfrens.
  6. Penambahan bab tentang deradikalisasi.

BACA JUGA: Simak! Pengakuan Dirut PLN soal Dewie Limpo

BACA ARTIKEL LAINNYA... Desak DPR Perkuat Kewenangan Intelijen


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler