Hingga hari Jumat (21/08), negara Bagian Victoria, Australia kembali mencatat penurunan jumlah kasus COVID-19 menjadi 179 kasus. Namun melonggarkan pembatasan sosial justru dikhawatirkan akan memicu gelombang ketiga pandemi.

Sejak lebih dari sebulan lalu, jumlah kasus hari ini untuk pertama kalinya berada di bawah angka 200. Selain itu selama lima hari berturut-turut tercatat jumlah kasus baru di bawah 300.

BACA JUGA: Waduh, Ilmuwan Singapura Temukan Varian Baru Virus Corona

Sejumlah pihak menyebutkan ini adalah hasil dari penerapan aturan pembatasan sosial yang sangat ketat di Victoria, yakni pembatasan tahap empat untuk metropolitan Melbourne dan pembatasan tahap 3 untuk wilayah regional.

Namun wakil pejabat tertinggi bidang medis Victoria, Dr Allen Cheng menyatakan kasusnya masih harus menjadi satu atau dua digit sebelum Melbourne dapat keluar dari pembatasan tahap empat.

BACA JUGA: Indonesia Buat Kesepakatan Awal Dengan Tiongkok Soal Pasokan Vaksin COVID-19

Menteri Utama Victoria, Premier Daniel Andrews kemarin juga mengindikasikan hal yang sama.

"Meskipun trennya bagus dan angka kasusnya tinggal 200-an bahkan setengah dari jumlah itu pun, jika dilonggarkan sekarang, kita tak akan mengalahan wabah gelombang kedua ini," kata Premier Andrews.

BACA JUGA: Penting Diketahui, Gejala Pertama COVID-19 Adalah Demam Bukan Batuk-Batuk

"Kita malah akan memulai gelombang ketiga," tambahnya.

Premier Andrews belum mau bicara soal pelonggaran lockdown karena sejumlah alasan berikut ini. Khawatir pada gelombang ketiga

Ada analogi parasut yang digunakan untuk menggambarkan situasi pada awal pandemi ketika orang berbicara soal pelonggaran pembatasan sosial.

Analoginya, kita melompat keluar dari pesawat dan mulai jatuh ke Bumi, lalu kita membuka parasut sehingga kecepatan jatuh kita itu melambat, tapi tentu tak boleh melepaskan parasut itu.

Menjaga jarak, tinggal di rumah, jam malam, mengenakan masker, dan hal lainnya merupakan parasut. Kapan hal itu ditinggalkan, maka akan membawa konsekuensi.

Segala pembatasan sosial yang diibaratkan parasut tersebut kini masih berlaku di Victoria hingga 13 September.

Menurut Preimer Andrews, pihaknya akan terus berpedoman pada rekomendasi pakar kesehatan masyarakat.

"Kita harus menerima seberat apapun bahwa perjalanan kita ini masih panjang. Kita harus berupaya sekuat mungkin menurunkan angka-angka ini," katanya.

Ia mengatakan akan ada saatnya nanti pelonggaran itu dilakukan. Kabar warga Indonesia di Victoria
Ada banyak warga Indonesia yang tinggal di kawasan 'hostpot' penularan virus corona di Australia.

  Jumlah tes menurun

Angka tes COVID-19 dalam sehari di Victoria secara konsisten berada di atas 20.000 hingga minggu ini.

Jumlah tersebut sempat turun pada kisaran 15.000 hingga 18.000 tes.

Pihak berwenang terus mendorong setiap warga yang memiliki gejala atau keluhan untuk melakukan tes COVID-19.

Untungnya, proporsi antara hasil positif dengan jumlah yang ikut tes di Victoria terbilang cukup baik, sekitar 1 persen.

Premier Andrews mengatakan jika persentasenya lebih tinggi, pihaknya khawatir terjadi fenomena gunung es dalam jumlah kasus COVID-19. Photo: Negara bagian Victoria kini berada dalam pembatasan sosial tahap 3 dan 4, yang mengatur kewajiban mengenakan masker, jam malam, dan batas maksimal berada di luar rumah. (ABC News: Darryl Torpy)

  Banyak kasus misterius

Kasus positif COVID-19 yang tak diketahui asal-usulnya lebih mengkhawatirkan bagi pihak berwenang.

Sebuah kasus yang ditemukan tanpa tidak diketahui darimana yang bersangkutan mendapatkannya, membuatnya sulit untuk mengetahui sudah berapa banyak orang lain yang juga terinfeksi.

Di Victoria, dalam tempo dua minggu dari tanggal 4 hingga 17 Agustus, tercatat ada 767 kasus misterius. Baca artikel terkait: Pasang surut bisnis warga Indonesia di Melbourne saat 'lockdown' kedua diberlakukan Seberapa membantu tunjangan uang dari Pemerintah Australia bagi warga Indonesia yang berhak mendapatkannya? Warga Melbourne disarankan menggunakan masker bila keluar rumah dan jika tak bisa jaga jarak

 

Premier Andrews mengatakan satu kasus misterius berkait dengan minimal satu kasus lain di luar sana.

Jadi, meskipun jumlah kasus yang diumumkan setiap hari sudah turun dan semakin rendah, namun jika kasus yang misterius masih tetap ada maka sulit untuk bicara soal pelonggaran lockdown.

Namun, yang menggembirakan yaitu karena jumlah kasus positif semakin kecil, akan semakin mudah bagi pihak berwenang untuk melacak asal-usul penyebarannya. Tren penurunan kasus belum stabil

Beberapa waktu sebelumnya sempat timbul harapan sudah terjadi tren penurunan angka penurunan di Melbourne, tapi kemudian kasusnya naik lagi.

Premier Andrews sendiri berpatokan pada jumlah rata-rata mingguan.

Namun data perbandingan jumlah kasus mingguan ini belum tersedia karena pembatasan tahap empat baru berjalan selama tiga minggu sejak 2 Agustus.

Ia menyatakan penurunan kasus beberapa hari terakhir belum bisa disebut sebagai tren.

Diakui angkanya mengalami penurunan, namun menurut Premier Andrews, pihaknya tidak berpatokan pada jumlah kasus haran.

"Kasusnya bisa berubah dari hari ke hari. Itulah mengapa tren mingguan jauh lebih penting bagi kami," katanya. 'Demi kepentingan bersama'
Warga Indonesia di Melbourne menjalani kehidupan di tengah pembatasan aktivitas yang lebih ketat.

  Kasus aktif masih tingi

Saat ini tercatat hampir 5.000 kasus aktif COVID-19 secara keseluruhan di Victoria.

Meski jumlah kasus aktif ini menurun, namun prosesnya berjalan lambat.

Satu kasus aktif memerlukan proses untuk dinyatakan bersih dari infeksi. Yang bersangkutan harus melalui proses yang disebut "pelepasan dari isolasi", yang berbeda dengan karantina 14 hari.

Karantina 14 hari ditujukan bagi mereka yang memiliki kontak dengan seseorang yang positif atau berisiko tinggi terinfeksi oleh kasus yang diketahui.

Sedangkan "pelepasan dari isolasi" mencakup proses sebagai berikut: seseorang yang dites positif, diperintahkan menjalani isolasi setidaknya selama 10 hari, mereka diizinkan keluar setelah mendapat persetujuan petugas kesehatan.

Dalam proses tersebut, mereka akan diwawancarai oleh tenaga kesehatan dari lembaga bernama Health Direct.

Tenaga kesehatan dari Health Direct jelas tidak mampu menyelesaikan 2.000 kasus dalam sehari. Artinya, proses ini butuh waktu lama sehingga pelonggaran pembatasan sosial pun akan semakin mundur waktunya.

Jika yang bersangkutan tidak lagi menunjukkan gejala setelah 10 hari dan bukan kelompok berisiko tinggi, proses pelepasan ini tak memerlukan tes lanjutan.

Sebaliknya, isolasi bisa lebih lama jika yang bersangkutan menunjukkan gejala dan pihak tenaga kesehatan akan menghubunginya secara rutin.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim.

BACA ARTIKEL LAINNYA... PM Australia Janji Salurkan Vaksin COVID ke Negara Tetangga, Indonesia Kebagian?

Berita Terkait