jpnn.com - JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Universitas Negeri Makassar Muhtar menyebut sikap pimpinan MPR yang tidak melaksanakan putusan paripurna Dewan Perwakilan Daerah tentang penggantian Wakil Ketua MPR (dari unsur DPD) Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, merupakan pelecehan terhadap DPD RI.
Muhtar menilai pimpinan MPR tidak menghormati DPD. Padahal MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara dan seharusnya menghormati dinamika di masing-masing lembaga.
BACA JUGA: Saran dari Ahli Hukum Tata Negara untuk MPR agar Polemik soal Tamsil Linrung Berakhir
“Sudah cukup proses formil yang ada di DPD terkait penggantian wakil ketua MPR dari unsur DPD, ini harus dihormati oleh pimpinan MPR dalam hubungan kelembagaan. Tidak bisa hal ini diabaikan,” kata Muhtar, Rabu (5/4).
Menurut Muhtar, secara ketatanegaraan penundaan pelantikan Wakil Ketua MPR Tamsil Linrung merupakan praktik yang tidak benar dan buruk dalam penyelenggaraan ketatanegaraan.
BACA JUGA: DPD Harus Powerful agar MPR Tak Abaikan soal Tamsil Pengganti Fadel
"DPD dilecehkan oleh MPR karena MPR tidak menyikapi masalah ini secara bijak sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan,” ujar Muhtar.
Dalam proses penggantian wakil ketua MPR, Fadel telah melakukan poses hukum ke PTUN. Hasilnya ternyata PTUN menolak dengan alasan penggantian wakil ketua MPR meupakan kewenangan lembaga, dan Fadel kemudian mengajukan upaya hukum lainnya.
BACA JUGA: Penundaan Pelantikan Tamsil Linrung Jadi Pimpinan MPR Melawan Hukum
“Seharusnya upaya hukum yang dilakukan Fadel Muhammad tidak boleh menghalangi poses yang sedang berjalan,” kata Muhtar.
Dia menjelaskan dalam asas hukum administrasi negara asas praduga bahwa semua keputusan lembaga itu harus dianggap benar, sebelum ada keputusan yang memutuskan sebaliknya.
“Logikanya sederhana, kalau proses ini berjalan sesuai mekanisme yang berlaku sehausnya tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pelantikan Tamsil Linrung,” tutur Muhtar.
Dia mengingatkan, jika penundaan dengan alasan menunggu proses hukum inkracht menjadi trend maka akan menghambat semua laju ketatanegaraan.
“Ini akan jadi preseden buruk penyelenggaraan negara di masa mendatang,” ujar Muhtar.
Hal senada diungkap pengamat hukum dari Citra Institute, Nawari.
Dia mengatakan penundaan pelantikan Wakil Ketua MPR tidak memiliki dasar hukum. Pasalnya, pimpinan MPR tidak memiliki wewenang untuk menunda pelantikan itu. "Hal itu diperjelas dalam UU MD3," katanya.
Nawari menerangkan, seharusnya pimpinan MPR tidak perlu menunggu proses hukum yang sedang diajukan fadel Muhammad inkracht. Sebab, tidak ada diktum pasal yang mengharuskan pelantikan Wakil Ketua MPR ditunda dengan alasan tersebut.
Nawari menekankan, gugatan yang dilakukan Fadel Muhammad di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak berdasar dan tidak menghormati Sidang Paripurna DPD, yang sudah memutuskan mengganti Fadel Muhammad dengan Tamsil.
Menurut Nawari, Fadel seharusnya memperjuangkan haknya di Sidang Paripurna DPD, bukan di pengadilan.
"Mengingat secara hukum keputusan tersebut tidak bisa dijadikan objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara," kata Nawari. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan