jpnn.com, SAMARINDA - Harga batu bara acuan (HBA) untuk Februari 2019 ditetapkan sebesar USD 91,80 per metrik ton. Harga tersebut mengalami penurunan bila dibandingkan HBA beberapa bulan sebelumnya. Namun, menurunnya harga batu bara dianggap masih dalam tahap wajar.
Diketahui, pada Agustus 2018 HBA masih sebesar USD 107,83 per metrik ton. Terus menurun, September HBA sebesar USD 104,81 per metrik ton, lalu Oktober USD 100,89 per metrik ton dan November USD 97,90 per metrik ton. Mengawali 2019, HBA turun tipis di angka USD 92,41 per ton dibandingkan HBA Desember 2018 yang sebesar USD 92,51 per ton.
BACA JUGA: Harga Minyak, Batu Bara, CPO, Diprediksi Terus Turun
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kaltim Bidang Logistik Sevana Podung mengatakan, penurunan tersebut masih dalam batas wajar. Karena masih tergolong aman dibanding penurunan tajam yang terjadi pada 2010 hingga 2015.
“Penurunan saat ini masih fluktuatif dan tidak memberikan dampak negatif terhadap perekonomian. Sebab masih ada beberapa bulan untuk mengalami perbaikan harga,” katanya.
BACA JUGA: Beberapa Penyebab Harga Batu Bara Terus Melorot
Dia menilai, untuk kembali memiliki harga yang baik seperti 2010 sangat sulit. Karena produksi dan permintaan juga menurun. Namun, saat ini industri ini tengah merangkak naik walaupun tidak diimbangi dengan produksi yang meningkat.
“Kita terpengaruh oleh kondisi dunia, soal keamanan lingkungan. Ini menjadi persoalan. Ini membuat kita kesulitan untuk mencari pasar baru, sehingga produksi tidak maksimal,” katanya.
BACA JUGA: HBA Naik, PLN Tanggung Beban Tambahan Rp 14 Triliun
Untuk pasar baru, misalnya Amerika Serikat dan Eropa, batu bara sulit masuk karena terkait regulasi lingkungan yang ketat. Yang paling longgar untuk urusan lingkungan hanyalah India dan Tiongkok. Makanya saat ini ekspor Kaltim masih menuju dua negara tersebut. “Pemerintah kita masih lemah, yang kualitas rendah aja dijual. Karena, yang penting ekspor,” ungkapnya.
Dia mengatakan, sejauh ini dampak ikutan kepada mikro ekonomi pendamping batu bara tak sepenuhnya mengkhawatirkan. Meski diakuinya bahwa pengusaha pasti menahan jumlah produksinya, dalam volume yang tidak banyak.
“Ke depan, solusi kebijakan DMO (domestic market obligation) atau penyerapan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri cukup memberi harapan,” tuturnya.
Senada, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Kaltim Muhammad Hamzah mengatakan, lima tahun ke depan akan terjadi penurunan drastis dari produksi batu bara. Sehingga, penyiapan infrastruktur hilirisasi industri, hingga mengangkat kualitas serta kuantitas produk UMKM perlu dilakukan untuk menggantikan posisi batu bara dalam urusan ekspor.
“Potensi perkembangan UMKM itu yang bisa dikembangkan. Potensi kita punya, kami akan bantu untuk menyiapkan semua agar mereka pelaku UMKM siap. Karena untuk ekspor perlu dipastikan produksi stabil dan kualitas terjaga," ujar Hamzah.
Menurutnya, UMKM memang harus disiapkan dari sekarang. Karena, produksi batu bara yang terus menurun akan membuat nilai ekspor Kaltim juga menurun. Apalagi kontribusi batu bara sangat besar terhadap struktur ekspor Bumi Etam.
“Sektor penggantinya harus sudah kita siapkan. Bahkan, kami siap untuk mengembangkan lewat program CSR para perusahaan ekspor. Sehingga kelak penurunan harga produksi batu bara tidak akan begitu terasa pada dunia ekspor Kaltim,” tutupnya. (*/ctr/ndu/k15)
Redaktur & Reporter : Soetomo