Penurunan Harga Gas Tidak Bisa Hanya Lewat Aturan

Senin, 05 Desember 2016 – 18:38 WIB
Foto/ilustrasi: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA – Pemerintah tengah berusaha keras untuk menurunkan harga gas industri supaya tidak lagi menjadi yang termahal di dunia. Banyak pihak membandingkan harga gas di Indonesia yang jauh lebih mahal ketimbang Malaysia.

Mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Ari Soemarno mengatakan, selama ini harga gas di Indonesia jauh lebih mahal karena pemerintah tidak memerhatikan infrastrukturnya. Hal itu terlihat dari tidak adanya anggaran yang signifikan untuk membangun infrastruktur.

BACA JUGA: Menhub Cek Progres KA Bandara dan DDT Manggarai

Sedangkan Pertamina tidak bisa membantu karena ada kewajiban menyetor pendapatan ke negara. ’’Dulu, Pertamina boleh menahan 40 persen pendapatan untuk mengembangkan diri,’’ ujarnya, Senin (5/12).

Namun, hal itu tidak lagi bisa diterapkan karena ada krisis di BUMN energi tersebut pada 1976. Sejak itu, 100 persen pendapatan Pertamina harus disetorkan kepada pemerintah selaku pemegang saham.

BACA JUGA: LLP KUKM dan PUM Belanda Gelar Bimbingan Teknis buat UKM

Mestinya, duit dari pendapatan Pertamina bisa membuat pemerintah lebih lincah untuk untuk mengembangkan infrastruktur gas. Namun, itu tidak terjadi.

Akhirnya, pemerintah kerepotan ketika saat ini mulai membangun insfrastruktur gas bumi. ’’Ini yang membuat gas industri kita mahal,’’ terangnya.

BACA JUGA: Hero Group Makin Intensif Berdayakan Petani Lokal

Lebih lanjut dia menjelaskan, infrastruktur migas di Malaysia  dibangun oleh Petronas. Sebab, untuk bagian negara, Petronas hanya perlu membayar dividen dan pajak korporasi.

’’Kompensasinya, Petronas diminta bangun infrastruktur. Makanya, biaya distribusi gas di Malaysia sangat murah,’’ urainya.

Supaya masalah infrastruktur gas tidak berlarut, dia mengharapkan pemerintah Indonesia bisa mencontoh Malaysia. Pertamina dan negara tidak perlu melakukan hitun-hitungan secara komersial. Sebab, faktor itu yang membuat Indonesia sulit berkompetisi dengan negara lain untuk sektor energi.

Yang sudah terbukti, adalah harga gas bumi untuk industri. Seperti diberitakan, harganya bisa mencapai lebih dari USD 10 per MMBTU. Dia menyebut, perlu perubahan pola pikir supaya keinginan pemerintah untuk menekan harga gas tidak hangat di awal.

’’Pendapatan migas itu, harus untuk perkembangan negara, dan industri migas sendiri. Bukan untuk APBN,’’ tegasnya.

Direktur Center for Energy Policy Kholid Syerazi satu suara dengan Ari. Katanya, liberalisasi yang belum matang merepotkan semua orang. 

Dia bahkan menyebut kalau selama ini Indonesia keliru soal konsep itu. ’’Liberalisasi gas di tengah infrastruktur yang sangat tidak matang, membuat harga gas belum efisien dan belum bisa bersaing,’’ ungkapnya.

Menurutnya, untuk membuat industri Indonesia bersaing tidak hanya dengan aturan untuk menurunkan harga gas. Sebab, perlu infrastruktur supaya efek penurunan harga gas bisa permanen. 

Kewajiban pengembangan infrastruktur, lanjut Khalid, berada di tangan pemerintah dengan menunjuk BUMN atau swasta lewat pola perjanjian kerja sama. (dim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perbankan Syariah dan Konvensional Masih Timpang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler