jpnn.com - Ancaman Covid-19 sejak awal pandemi melumpuhkan hampir semua aktivitas lembaga pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini sampai jenjang Pergurun Tinggi. Situasi pandemi ini mengharuskan institusi pendidikan menjaga agar semua staf dan peserta didik tetap aman selama masa krisis sampai menerimanya sebagai sebuah kenormalan baru.
Berbagai analisis risiko dilontarkan; prioritas kesehatan peserta didik, penerimaan peserta didik baru yang sudah berjalan, kesiapan stakeholder serta sarana dan prasarana pendukung. Semua analisis ini sangat memperhitungkan faktor kesehatan, efisiensi, dan efektivitas. Kondisi kenormalan baru ini pun menjadi persoalan bagi dunia pendidikan.
BACA JUGA: Gus Menteri Bergerak Cepat, Langsung Siapkan RPP BUM Desa
Dengan berbagai pertimbangan untuk menyelamatkan risiko pendidikan di masa pandemi covid-19 tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengambil langkah bijak dan tepat, mendorong lembaga pendidikan untuk tetap melaksanakan program belajar di masa pandemi Covid-19.
Hal yang diambil oleh Nadiem Makarim adalah mendesain kembali program belajar yang disebutnya sebagai “Merdeka Belajar”. Program ini merupakan respon cepat Mendikbud untuk menyelamatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia dan menekan resiko yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Tindaklanjuti UU Cipta Kerja, Kemendes PDTT Siapkan RPP tentang BUM Desa
Pada situasi ini, Mendikbud mencanangkan kebijakan dengan program Merdeka Belajar. Menurutnya, ada empat program dalam kebijakan Merdeka Belajar, yakni Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diganti ujian (asesmen), 2021 Ujian Naasional (UN) diganti, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dipersingkat dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi, lebih fleksibel.
Dari empat program Merdeka Belajar tersebut, hal yang sangat membantu para guru untuk merekayasa pendidikan yang sesuai kebutuhan dan meningkatkan kreativitas merdeka belajar adalah RPP Dipersingkat. Berikut tinjauan kritisnya.
BACA JUGA: Nadiem Makarim: Siswa Vokasi Bebas Memilih Kapan Lulusnya
Guru Merdeka dari Administrasi Menuju Merdeka Belajar
Sebelum pandemi covid-19 melumpuhkan aktivitas lembaga pendidikan, menjadi guru selalu dikejar-kejar administrasi. Disuruh membuat Silabus, Prota, RPP dan lain-lain. Belum lagi harus mengisi ini dan itu. Ketika lagi asyik mengajar, lagi-lagi diganggu dengan perintah adm. Kelas harus ditinggal-tinggal.
Dalam contoh RPP juga dituntut menggunakan metode belajar yang rumit dan kaku. Aktifitas belajar mengajar di kelas harus terpaku pada RPP. Tak masuk dalam pikiran saya mengajar anak SD dengan metode diskusi. Karena pengalaman saya, yang terjadi malah ramai.
Selain itu banyak guru suka yang simpel dan fleksibel. Tidak harus bergelut pada contoh RPP. Dalam kasus ini, program merdeka belajar akan membuat guru lebih fleksibel dalam mengajar.
Sementara itu, mengutip salah satu media online pada Kamis (25/6/2020), Direktur Eksekutif Center of Education Regulations and Development Analysis (Cerdas), Indra Charismiadji mengatakan, pada masa pandemi ini, mutu pendidikan Indonesia menurun. Hal ini terjadi karena ekosistem pendidikan Indonesia belum mencapai kondisi ideal seperti yang didesain oleh Ki Hajar Dewantara. Ekosistem pendidikan ideal itu harus terdiri dari tiga pusat pendidikan, yakni sekolah, masyarakat, dan rumah.
Dari tiga pusat pendidikan tersebut, yang menjadi momok bagi siswa adalah orang tua dan siswa gagap menjadikan rumah sebagai sekolah. Padahal di masa pandemi covid-19, rumah adalah muara ilmu pengetahuan bagi anak.
Sementara yang terjadi selama ini adalah orang tua menyerahkan seluruh kuasa pendidikan bagi anak kepada sekolah. Sehingga kultur dan aktivitas pendidikan anak di rumah, benar-benar diuji dalam masa pendidikan jarak jauh atau online, dengan berbagai sajian konten-konten pelajaran yang disediakan oleh guru.
Selain itu, model pendidikan kita yang masih konvensional berpindah ke ruang virtual terjadi begitu cepat dan mengejutkan. Ketidaksiapan kita menjadi bukti bahwa kita tidak memiliki desain proses belajar mengajar ketika terjadi krisis global
Memindahkan semua instruksi dan tutorial secara verbal ke dalam instruksi digital (online) sepertinya belum pernah terjadi apalagi dilakukan secara massal. Hal ini diperparah dengan kebiasaan orang tua dan murid yang belum melek teknologi.
Desain RPP Memerdekakan Belajar Siswa di Rumah
Sebelum Kemendikbud mengeluarkan kebijakan “Merdeka Belajar”, RPP sendiri pada formatnya terdiri dari 13 komponen, sehingga tidak mengagetkan bila RPP cenderung tebal dan formatnya kaku.
Namun komponen yang panjang tersebut disederhanakan menjadi 3 saja yang memuat tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan penilaian.
Hal ini dikeluarkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 11 Desember 2019. Nadiem menegaskan, dari evaluasi yang dilakukan selama ini dalam pembuatan Rencana Pelaksanaan pembelajaran di sekolah dianggap menyita waktu guru karena selama ini harus detail. Dalam memberikan penjelasan guru tidak boleh keluar dari RPP yang sudah dipersiapkan sebelum mengajar. Sehingga perlu penyederhanaan program dengan melakukan efisiensi.
Dalam pembuatan RPP, prinsip efisien, efektif dan berorientasi pada murid dikedepankan. Efisien berarti penulisan RPP dilakukan dengan tepat dan tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Efektif berarti penulisan RPP dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berorientasi pada murid berarti penulisan RPP dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan kebutuhan belajar murid di kelas.
Lalu adakah standar baku untuk format penulisan RPP? Tidak ada; guru bebas membuat, memilih, mengembangkan, dan menggunakan RPP sesuai dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid.
Kemudian di masa pandemi, guru, murid dan orang tua akan lebih produktif untuk berkolaborasi menerjemahkan konten pelajaran melalui teknologi daring. Hal ini menjadikan guru lebih inovatif untuk memproduksi konten pelajaran yang menarik bagi siswa karena guru tidak lagi dibebankan pada RPP tapi lebih kepada inovasi dan meningkatkan kreatifitas murid.
Kondisi di atas oleh Neil Postman (1995) menyebutnya sebagai problem metafisik. Ruang virtual mungkin hanya berlaku untuk keterampilan mekanis. Namun untuk menjadi seorang pribadi yang berbeda karena suatu hal yang telah dipelajari merupakan keterampilan yang berbeda secara teknis.
Kemampuan dalam menyampaikan wawasan, konsep, cara pandang, dan menanamkan sebuah pembiasaan baik berbeda dengan mengajarkan orang untuk mengoperasikan sebuah komputer atau mesin.
Semoga merdeka belajar menjadikan guru, para murid, dan orang tua dapat membangkitkan gairah pendidikan yang inovatif dan kreatif menuju masa emas Indonesia.(***/)
Penulis adalah Yogen Sogen, Founder Jaringan Milenial Nusantara, PP PMKRI 2018-2020
Redaktur & Reporter : Friederich