Penyidik Kejagung Dinilai Lakukan Abuse of Power dalam Kasus Korupsi Tata Niaga Timah

Jumat, 06 September 2024 – 00:00 WIB
Penasihat hukum CV. Venus Inti Perkasa (Thamron alias Aon Cs) Andy Inovi Nababan. Dok: source for JPNN.

jpnn.com, JAKARTA - Penasihat hukum CV. Venus Inti Perkasa (Thamron alias Aon Cs) Andy Inovi Nababan menyatakan penyidik Tindak Pidana Khusus Kejagung diduga telah melakukan perbuatan bertentangan dengan Undang-Undang dalam kasus Korupsi Tata Niaga Timah yang kerugiannya mencapai Rp 300 Triliun.

Pernyataan tersebut disampaikan Andy dalam Eksepsi (Nota Keberatan) di persidangan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (5/9/).

BACA JUGA: Pengusaha Tetian Wahyudi DPO Kasus Korupsi Timah Rp 300 T

Dalam kesempatan itu, Andy juga memaparkan bahwa pengadilan tindak pidana korupsi tidak berwenang mengadili perkara a quo (kompetensi absolut) karena penuntut umum salah menerapkan undang-undang tindak pidana korupsi yang tidak relevan dengan perkara aquo.

“Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak relevan diterapkan dalam perkara a quo, karena status PT. Timah Tbk hanyalah anak perusahaan BUMN yang tidak ada kaitannya dengan keuangan/kekayaan Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium, dan melihat jangka waktu kejadian perkara PT. Timah Tbk masih menjadi anak perusahaan PT. Inalum,” ujar Andy Nababan.

BACA JUGA: Korupsi Timah, 2 Petinggi Perusahaan Smelter Ini Didakwa Terima Rp 4,1 Triliun

Dia mengatakan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/PHPU-PRES/ XVII/2019, permodalan anak perusahaan BUMN tidak dari negara melainkan dari pemisahan kekayaan induk perusahaan, yaitu BUMN, menyebabkan anak perusahaan BUMN tak memiliki keterkaitan hubungan dengan negara.

“Selain itu ada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 Sebagai Pedoman pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tersebut perlu dikaitkan dengan Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN,” kata dia.

BACA JUGA: Modus Helena Lim Bantu Harvey Moeis Tampung Uang Korupsi Timah

Selain itu, ujar alumnus Universitas Padjajaran ini, beberapa Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang relevan dengan kasus ini, menyebutkan anak Perusahaan BUMN tidak memiliki keterkaitan dengan hubungan dengan Negara.

“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perkara a quo seharusnya diselesaikan dengan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup atau Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kerugian Lingkungan Hidup bukan merupakan kerugian Keuangan Negara dan penghitungan kerugian lingkungan hidup yang dilakukan Penyidik Kejaksaaan Agung dalam perkara a quo bertentangan dengan Undang-Undang,” ujar dia.

Maka, papar Andy, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ada sudah cacat hukum, sehingga surat dakwaan JPU batal demi hukum.

“Dalam hal ini penyidik Kejagung telah melakukan penyidikan dan melakukan penghitungan atas kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur oleh UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jo. UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan (P3H) Jo UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal, dalam UU tersebut telah diatur kewenangan yang melakukan penyidikan adalah tugas Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),” ujarnya.

Dalam kasus ini, penyidik Kejagung juga telah mengabaikan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dalam dakwaan JPU terdapat beberapa unsur kerugian negara akibat perbuatan terdakwa yang bertentangan dengan UU Minerba, UU Tentang PPLH dan UU Tentang P3H sedangkan pelanggaran tersebut bukanlah merupakan Tindak Pidana Korupsi. Kalau pun ada pelanggaran maka penyelesaian perkara harus diselesaikan sesuai aturan Undang-Undang yang mengaturnya, sesuai dengan Asas Lex Spesialis Sistematis,” tuturnya.

Andy mengatakan tindakan penyidik Kejagun, JPU, BPKP dan pihak-pihak lain dapat diduga melakukan perbuatan bertentangan dengan UU Minerba, UU Tentang PPLH dan UU Tentang P3H dan secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dimana secara bersama-sama.

Selain itu, mantan penasihat hukum Kemen LH ini menyatakan dalam perkara ini penyidik dalam perkara A Quo adalah orang yang sama dengan JPU dan ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan asas diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan Pidana di Indonesia, sehingga dakwaan yang dihasilkan dari proses penyidikan dan penuntutan juga bias dianggap melanggar hukum.

“Tim penuntut umum di persidangan maupun secara berkas perkara telah sangat jelas dan terang-terangan menunjukkan di hadapan persidangan bahwa penyidik dalam perkara a quo adalah orang yang sama yang merangkap sekaligus juga sebagai penuntut umum,” paparnya. (cuy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Awal Perkenalan Helena Lim dengan Harvey Moeis Sebelum Terlibat Korupsi Timah


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler