Perempuan penyintas kasus mutilasi alat kelamin di Australia memprotes keras usulan ginekolog AS yang menyarankan agar praktek kompromi khitan pada anak perempuan dilegalkan. Diperkirakan ada lebih dari 80 ribu anak perempuan yang menjadi korban praktek mutilasi alat kelamin perempuan (FGM).Dalam makalah yang dipublikasikan di Journal of Medical Ethics, dua ginekolog AS berpendapat prosedur bedah kecil 'nick' atau prosedur minimalis yang hanya sedikit mengubah tampilan dari alat kelamin eksternal wanita harus dilegalkan sebagai solusi kompromi untuk mengurangi dampak dari prosedur mutilasi alat kelamin perempuan. Menurut Kavita Shah Arora, assistant professor dari Unit Reproduksi Biologi dan Bio-ethics - MetroHealth Medical Centre, AS merupakan penulis utama dalam penulisan makalah ini. "Meski sudah 30 tahun lebih upaya advokasi dilakukan, ternyata prevalensi praktek mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) masih tetap tinggi dan dilakukan secara luas bahkan tidak berubah dibeberapa kawasan yang memang mempraktekan prosedur tersebut," Menurutnya praktek yang tidak mengakibatkan dampak fisik permanen dapat melindungi anak muda perempuan dari bentuk pemotongan alat kelamin yang parah. "Misalnya dengan melakukan prosedur nick di bagian vulva," katanya. "Jadi alat kelamin perempuan hanya dilukai sedikit dan itu akan sembuh, sama seperti jika bagian tubuh kita terpotong sedikit, pasti nantinya akan sembuh tapi memang akan mengeluarkan darah dan tujuannya hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan agama atau kebudayaan saja," Dr Arora membandingkan prosedur khitan pada pria yang sudah menjadi praktek yang umum dilakukan juga di negara barat, terutama Amerika. Meski demikian, Dr Arora mengakui kalau praktek nicks ini bukan merupakan kompromi yang cukup. "Saya sepenuhnya mengakui kalau saya tidak tahu bagaimana praktek adopsi kompromi seperti ini dilakukan di wilayah lain atau akan bisa dipraktekan secara terbuka sebagai sebuah kompromi," "Tapi menurut saya prosedur nicks ini memberikan harapan untuk situasi yang lebih baik, meskipun jika dilihat dari sudut pandang kesehatan publik ini memang solusi pencegahan yang riskan," "Kami juga tidak hendak mengatakan bahwa prosedur pada alat kelamin perempuan ini sebagai hal yang diinginkan," mereka menekankan. "Tapi sebaliknya, kami hanya berpendapat bahwa prosedur tertentu harus bisa ditoleransi oleh masyarakat liberal." Untuk mulai sikap toleransi itu, kedua ginekolog ini menyarankan agar istilah 'mutilasi alat kelamin perempuan' (FGM) harus diganti dengan istilah yang lebih halus dengan 'Perubahan Kelamin perempuan' (FGA) untuk mencerminkan berbagai jenis prosedur dan risiko yang terkait," tegasnya. Namun anjuran ini ditentang oleh perempuan penyintas korban mutilasi alat kelamin wanita (FGM) di Australia, Khadija Gbla. Ia baru berusia 13 tahun ketika tiba di Australia sebagai pengungsi dari perang yang memecah belah Sierra Leone. "Sebelum berangkat ke Australia, ibu saya mengkhitan saya, Ia mengajak saya menemui seorang wanita tua di desa, setelah berbincang sebentar dengan ibu saua, perempuan itu datang dengan memegang pisau berkarat," tuturnya. "Ibu saya memaksa saya mengikuti perempuan tadi ke gubuk, disana perempuan itu menindih saya dilantai dan kemudian memotong klitorisnya, tidak itu saja dia juga kemudian memotong bagian luar vagina saya," kenangnya. "Dia memotong kelamin saya dan saya hanya bisa berbaring pasrah dan pingsan karena menahan sakit dan ingin agar hal itu dihentikan," Gbla mengaku sangat trauma dengan kejadian ini, dan meski sudah 20 tahun berlalu Ia masih sering dihantui dengan apa yang dialaminya pada hari itu. Oleh karena itu Gbla menilai pesan dari Dr Arora sangat membahayakan. "Sarannya sama saja dengan membuat FGM seolah-olah tidak dilakukan lagi tapi itu hanya prosedur yang normal dimana alat kelamin anak perempuan kecil perlu diubah," "Padahal kita tahun FGM tidak ada manfaatnya sama sekali, tidak satupun manfaat dari tindakan itu," "Saya tidak memberikan persetujuan atas apa yang terjadi pada saya, dan tidak ada satupun anak-anak di dunia ini yang memberikan persetujuan untuk di khitan kelaminnya,' "Kami tidak ingin hal itu dilakukan pada kami," Kampanye global melawan khitan perempuan mengatakan dokter tidak boleh memaklumi norma-norma sosial yang membahayakan. "Sering kali orang mengatakan FGM adalah bentuk dari pengekangan seksualitas perempuan, padahal yang terjadi justru sering kali FGM merusak seksualitas perempuan, dan hal itu tidak terjadi pada khitan pada pria," kata Paula Ferrari, managing director NGO No FGM Australia. Kelompok ini memperkirakan ada 80.000 anak perempuan di Australia yang merupakan penyintas dari praktek khitan alat kelamin perempuan. "Hal pertama yang perlu kita bahas mengenai FGM adalah kalau itu merupakan bagian dari masalah anak-anak perempuan di Australia juga," katanya. "Dan kedua kita perlu mendorong orang untuk melaporkan jika mereka tahu ada anak perempuan yang dalam bahaya menjadi korban praktek FGM," katanya. PBB memperkirakan saat ini sedikitnya ada 200 juta anak perempuan di dunia yang menjadi korban dari praktek pemotongan alat kelamin di negara maju maupun negara berkembang. Praktek yang dikenal sebagai mutilasi alat kelamin atau FGM ini bertujuan mengubah tampilan dan memotong alat kelamin perempuan telah dianggap sebagai ritual budaya yang dilakukan secara turun temurun dalam beberapa kebudayaan. FGM termasuk tindakan yang ilegal di banyak negara, termasuk Australia.
BACA JUGA: Pendapatan Warga Canberra Banyak Dihabiskan Untuk Biaya Rumah Tinggal
BACA ARTIKEL LAINNYA... VIDEO: Mari Kenali Jenis Lemak Demi Menjaga Makanan dan Gaya Hidup Sehat