jpnn.com, JAKARTA - Masih adanya konflik terhadap draf Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) menjadi bukti diperlukannya penyempurnaan lebih lanjut.
Jika tidak, rencana pemerintah mewujudkan seratus persen akses air bersih aman untuk seluruh masyarakat bisa terhambat.
BACA JUGA: RUU SDA Sebaiknya Difokuskan Membuat PDAM Lebih Sehat
“Jadi, semangat dari pembuatan Undang-Undang SDA itu jangan sampai menghilangkan atau merugikan hak konstitusional warga negara untuk bisa mendapatkan air bersih yang layak,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) JimlyAsshiddiqie, Rabu (10/10).
Menurut Jimly, penyusunan pasal-pasal dalam RUU SDA harus didasarkan hasil riset yang mendalam.
BACA JUGA: 51 Ribu Rumah di Bekasi tidak Teraliri Air Bersih
Artinya, semua stakeholder harus dilibatkan dalam penyusunan dan mesti aktif memberikan masukan.
“Akan berbahaya kalau penyusunan pasal-pasal di RUU SDA itu tidak didasarkan atas pengetahuan yang mendalam dan mendetail serta lebih matang lagi. Jadi, sebaiknya RUU SDA itu jangan buru-buru disusun,” ucap Jimly.
BACA JUGA: SPAM dan AMDK Harus Dibahas dalam Bab Terpisah di RUU SDA
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, draf RUU yang dibahas saat ini belum dirumuskan dengan baik.
Menurut dia, para penyusun masih mencampuradukkan pemikiran sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Dia menjelaskan, hal itu berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha dan perekonomian Indonesia.
“Seharusnya negara bisa memberikan upaya untuk menjaga iklim investasi dan perlindungan usaha. Namun, alur pemikiran dalam RUU ini malah membangun ketidakpastian usaha lantaran tercampuraduknya pengelolaan sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi,” ucap Danang.
Danang menjelaskan, ada beberapa hal strategis yang berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia.
Pertama, arah tujuan RUU SDA. Dia mempertanyakan arah RUS SDA apakah ingin mencari pemasukan bagi negara atau mengatur kelancaran investasi yang berimbang dengan kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, terdapat pasal-pasal yang memberatkan bagi dunia usaha, yakni pungutan dalam bentuk bank garansi dan kompensasi untuk konversi SDA minimal sepuluh persen dari laba usaha.
Hal itu terdapat dalam Pasal 47 RUU SDA yang menegaskan izin penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha dapat diberikan kepada pihak swasta setelah memenuhi syarat tertentu dan ketat.
Syarat minimal yang harus dipenuhi salah satunya adalah menyisihkan paling sedikit sepuluh persen dari laba usaha untuk konservasi SDA.
Kedua, Danang menilai arah RUU SDA belum memiliki orientasi perbedaan yang jelas tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat.
Hal itu sekaligus kewajiban negara dalam membangun perekonomian yang memajukan masyarakat dunia usaha. Kelemahan ini tercantum di dalam Pasal 51 ayat satu RUU dan penjelasannya.
Ketiga, arah RUU belum mengedepankan perlindungan sumber air seperti tercantum dalam penjelasan Pasal 63 huruf F.
Keempat, arah RUU ini menempatkan pengusaha atau swasta dalam daftar prioritas terendah untuk mendapatkan izin pemanfaatan sumber daya air.
Menurut dia, hal itu bisa disimpulkan dari rumusan Pasal 46 ayat (1) danPasal 49 ayat (3) RUU.
Beberapa waktu lalu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meminta semua pihak memberikan masukan yang sangat diperlukan dalam penyusunan RUU SDA .
“Undang-Undang SDA ini untuk kepentingan rakyat Indonesia. Pemerintah menjamin pengusahaan sumber daya air bagi kepentingan masyarakat banyak,” ujar Basuki.
Pemerintah memutuskan sumber daya air untuk kebutuhan industri dapat langsung dimanfaatkan oleh swasta tanpa harus bekerja sama dengan BUMN, BUMD atau badan usaha milik desa. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kali Bekasi Tercemar, PDAM Sempat Setop Suplai Air
Redaktur : Tim Redaksi