jpnn.com - Oleh: Juventus Prima Yoris Kago
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI
ISU politik Indonesia pasca-pemilu serentak 2019 kian memanas jelang pengumuman resmi hasil hitung Komisi Pemilihan Umum. Sejumlah tokoh, mulai dari Amin Rais hingga bekas jenderal Kivlan Zen, mewacanakan akan melakukan gerakan people power untuk mengepung KPU karena dianggap melakukan banyak kecurangan yang menguntungkan kubu Jokowi - Mar’uf dan merugikan pihak Prabowo-Sandi.
BACA JUGA: Wabup Kebumen dan Nahdiyin Deklarasi Tolak People Power 22 Mei 2019
Salah Kaprah Istilah People Power
Dalam istilah perpolitikan modern, people power merupakan gerakan massa aksi yang secara demontratif melakukan penggulingan kekuasaan presiden atau pemerintahan yang sah. Upaya ini disebut sebagai kekuatan rakyat. Seluruh rakyat turun ke jalan memaksa presiden meletakkan jabatannya karena melakukan pelanggaran konstitusi dan otoriter.
BACA JUGA: Jadwal Laga Borneo FC vs Arema FC Tidak Terpengaruh Isu People Power
Konteks gerakan people power adalah negara totaliter yang mengekang seluruh ekspresi kehendak bebas masyarakat serta kesewenangan penguasa. Itu artinya rakyat ingin agar kebebasan benar-benar menjadi yang utama dalam kehidupan bernegara. Artinya rakyat yang utama dan bukan negara yang mengatur.
Pasca-pemilu serentak 2019, istilah people power terdengar sangat nyaring setelah diserukan oleh Amin Rais. Pertanyaannya, apakah saat ini kita berhadapan dengan penguasa tiran dalam rezim totaliter? Tidak! Kita tidak sedang dalam situasi itu. Kita sedang berada dalam iklim demokrasi yang baik.
BACA JUGA: Masyarakat Tidak Perlu Ambil Bagian Saat Aksi 22 Mei
Kebebasan kita tidak sedang terbelenggu oleh negara. Penguasa kita bukan seorang otoriter sehingga tidak ada alasan untuk menggulingkan secara paksa oleh gerakan bernama people power.
Mengapa harus ada gerakan people power? Tidak ada alasan lain selain daripada ketidakpuasan Prabowo Subianto dan para pendukungnya atas kekalahannya dalam pertarungan Pilpres 17 April lalu. Ketidakpuasan itu dikapitalisasi menjadi sebuah gerakan massa yang akan turun ke jalan dengan alasan pemilu ini curang secara terstruktur, masif, sistematis, dan brutal.
Bagi saya, ini bukan people power karena yang bakal turun bukan rakyat dalam pengertian politis secara umum dan utuh, melainkan klaim atas keseluruhan rakyat dari sejumlah partisan dan pendukung Prabowo. Jadi istilah people power hanyalah sebuah klaim satu kubu untuk keseluruhan yang secara faktual bertentangan karena tidak semua rakyat Indonesia ingin turun ke jalan sebagaimana yang diklaim oleh Amin Rais dkk.
Bagi saya, people power punya sebuah tujuan yang mulia, tidak melulu politik. Di sana ada soal kemanusiaan (hak dan kebebasan) yang diperjuangkan. Juga soal keadilan. Justru ketika wacana people power ditempelkan pada gerakan sekelompok pendukung Prabowo, itu bukan lagi people power, tetapi aksi ketidakpuasan mereka yang belum dewasa secara politik dalam menerima kekalahan.
Menanti Sikap Kenegarawanan Prabowo
Dampak dari salah kaprah penggunaan istilah ini adalah kekacauan nasional. Persatuan bangsa menjadi taruhan, bakal ada konflik horizontal di akar rumput antara pendukung Prabowo Subianto melawan kubu pendukung Jokowi.
Dalam situasi seperti itu, tidak bisa tidak, kita menunggu sikap kenegarawanan Prabowo Subianto dan para pendukungnya seperti Amin Rais dan Kivlan Zen, bukan sekedar menerima kekalahan tetapi juga untuk meneduhkan para pendukungnya untuk tidak memecah-belah bangsa.
Prabowo dikenal sebagai salah seorang putra terbaik bangsa yang memiliki jiwa besar dengan pengabdian total bagi bangsa dan negara. Akan menjadi sebuah ironi jika seorang patriot seperti Prabowo malah memprovokasi pendukungnya untu melakukan gerakan people power dengan maksud untuk membela kepentingan politiknya tetapi di lain pihak justru menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika terjadi kecurangan sehingga menimbulkan ketidakpuasan Prabowo dan para pendukungnya, maka silakan menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi untuk menguji validitas data yang diumumkan oleh KPU. Mengambil langkah di luar hukum justru menjadikan Prabowo sebagai seorang politisi biasa yang emosional, jauh dari watak seorang negarawan sebagaimana yang dicitrakan selama ini.
Karakter utama seorang negarawan adalah bijaksana. Negarawan yang bijaksana adalah mereka yang mengutamakan keadilan di atas segala-galanya, termasuk di atas hasrat politiknya, hasrat untuk berkuasa.
Sebaliknya, pemimpin gadungan yang mengaku negarawan adalah mereka yang gemar melakukan penghasutan dan memprovokasi rakyat demi terpuaskannya hasrat politik sesaat. Mereka ini demagog, parasit dalam demokrasi
Wael Ghonim menyebut “The power of the people is much stronger than the people in power” yang dapat dimaknai kekuatan rakyat selalu lebih kuat daripada kekuatan mereka yang berkuasa.
Jika kekuasaan demokratis ini pada akhirnya diarahkan menjadi otoriter, saya percaya rakyat lebih berkuasa untuk mempertahankan kedaulatannya. Tetapi, jika kekuatan rakyat yang jauh lebih besar dari penguasa ini dipakai untuk kepuasan hasrat politik seseorang atau sekelompok orang, maka pada akhirnya mereka hanya menjadi tumpukan sampah yang akan hilang dari sejarah bangsa.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bagi yang Hendak Ikut Aksi 22 Mei, Simak Pendapat Pakar Hukum Islam Ini
Redaktur : Tim Redaksi