Perangi Buta Aksara, Ubah Gang Setan jadi Gang Santun

Minggu, 17 September 2017 – 00:05 WIB
Para relawan literasi diundang Kemendikbud saat Peringatan Hari Aksara Internasional, beberapa waktu lalu. Foto: Mesya Mohammad/JPNN.com

jpnn.com - Sebanyak 3,4 juta penduduk Indonesia masih terkurung dalam kebutaaan aksara. Namun, angka ini sudah menurun jauh karena ada campur tangan relawan literasi yang berjuang memberantas buta huruf tanpa sokongan dana dari pemerintah.

Mesya Mohammad - Jakarta

BACA JUGA: Ini Daftar Penerima Penghargaan Anugerah Aksara 2017

ADALAH Yusrizal KW dan Wahyudi. Dua pegiat dari sekian relawan literasi yang tumbuh di masyarakat karena prihatin dengan kondisi warganya tak bisa baca, menulis, dan menghitung.

Keduanya berusaha mengubah budaya masyarakat menuju peradaban dengan gerakan literasi. Yusrizal, yang juga seorang jurnalis ini terketuk hatinya melihat sebuah gang di dekat Pantai Padang.

BACA JUGA: Mendikbud Targetkan Angka Buta Aksara di Bawah 2 Persen

Bertahun-tahun gang itu dikenal dengan sebutan 'Gang Setan' karena perilaku masyarakatnya.

Masyarakatnya memiliki karakter emosional, kasar, dan mudah marah karena banyak di antaranya yang tidak mendapatkan pendidikan layak.

BACA JUGA: Mendikbud: Tidak Satu pun Negara Bebas Buta Huruf

Mereka tidak peduli dengan pendidikan, angka buta aksara tinggi, dan kriminalitas juga tinggi.

Diceritakan Yusrizal, nama Gang Setan sebenarnya diberikan oleh petugas PLN dan PDAM.

Gara-garanya, setiap mereka datang pasti diancam dan diusir warga. Gang yang tidak pernah dimasuki orang luar itu memang ditakuti.

Namun perlahan-lahan karakter masyarakat di tempat tersebut berubah menjadi ramah dan santun, antara lain berkat kehadiran Ruang Baca Tanah Ombak tiga tahun yang lalu.

"Dulu Gang Setan tempat mengerikan. Sekarang sudah banyak perubahan sudah jadi Gang Santun" ujar Yusrizal tertawa, di sela-sela acara di Kemendikbud saat Peringatan Hari Aksara Internasional, beberapa waktu lalu.

Pendiri Ruang Baca Tanah Ombak ini mengaku banyak tantangan yang dihadapinya saat mendirikan taman bacaan. Mulai dari pandangan aneh warga dan berbagai penolakan.

Namun, Yusrizal tetap optimistis karena sebelum Tanah Ombak Hadir, sudah ada kegiatan yang menggali potensi seni anak-anak muda di lingkungan tersebut.

Kegiatan dengan nama Kelompok Studi Seni dan Teater tersebut dipelopori Syuhendri. Akhirnya Yusrizal dan Syuhendri sepakat mendirikan gerakan yang lebih fokus pada literasi pada Juli 2014.

Gerakan awal Tanah Ombak dimulai dengan pengumpulan buku, serta meningkatkan minat dan budaya membaca. Selain itu menjadikan kreativitas seni sebagai energi ekspresif suntuk memacu anak-anak berkumpul di Tanah Ombak.

Kerja keras Yusrizal membuahkan hasil. Keberadaan Tanah Ombak secara perlahan mengubah aktivitas anak-anak muda di sekitarnya dan juga orang tua mereka.

Jika dulu anak-anak muda terbiasa mabuk dengan cara "ngelem" atau pun menonton tayangan pornografi di warnet, kini mereka terbiasa membaca, berdiskusi, dan menyalurkan minat pada kegiatan-kegiatan positif.

Lain lagi dengan perjuangan Wahyudi. Pegiat literasi asal Wonogiri ini menceritakan asal muasal terjun dengan dunia perbukuan.

Ini bermula dari keprihatinannya melihat warga di desanya yang kurang peduli dengan pendidikan anak-anak mereka.

Jumlah anak putus sekolah yang tiap tahun meningkat, kemelaratan warga, dan lainnya. Yudi, sapaan akrabnya makin sedih karena banyak anak di desanya tidak bisa meneruskan sekolahnya karena ketiadaan biaya.

Yudi kemudian mendirikan taman bacaan pada 2014, saat ia bekerja sebagai penjaga pos polisi di depan patung kuda Monumen Nasional Jakarta. Dari gajinya itu dia menyisihkan sebagian untuk membeli dua sampai tiga buku.

Pada 2015, Yuddy kembali ke kampungnya dan mendirikan rumah baca di Dusun Tlogo Bandung, sebuah dusun kecil di kaki Gunung Guci Wonogiri, Jateng.

Taman bacaan yang dia beri nama Rumah Baca Sang Petualang (RBSP) diresmikan 23 Juli 2015 bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional.

Selama menjalankan rumah baca tersebut, Yudi mendapat sambutan positif dari warga kampung, terutama yang tinggal di pedalaman. Sejatinya, bukan minat baca masyarakatnya yang kurang, tapi akses ke bahan bacaan yang kurang.

Warga kampungnya dan kampung-kampung terdekat mulai mendorong anak-anak mereka untuk berkegiatan di RBSP.

Di rumah baca ini selain diajak membaca dan belajar mengajar, mereka juga melakukan berbagai kegiatan kreatif seperti menulis, membuat berbagai kerajinan, dan lain-lain.

Sambil mengurus rumah baca, ia juga terus menciptakan inovasi untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Ia menggagas 'Ndhog Dadar Pustaka' yaitu inovasi kegiatan menumbuhkan minat baca khususnya untuk anak-anak sekolah.

Yudi mengajak seorang temannya bernama Temon, yang bekerja menjadi pengumpul barang bekas untuk membantu berjualan telur goreng keliling sambil membawa buku bacaan.

Anak-anak yang membeli telur goreng bisa mendapat fasilitas membaca buku gratis. Dan ini sedikit berhasil menarik minat anak-anak untuk sekadar melihat bahkan membaca buku yang dibawanya.

Setelah berhasil membuat Ndhog Dadar Pustaka, ia pun berusaha menciptakan inovasi lain yaitu Burger Pustaka. Konsepnya sama Ndhog Dadar Pustaka, tapi dengan dagangan berbeda.

Inovasi-inovasi kegiatan inilah yang akhirnya membawa Yudi menuju Istana Negara. "Begini-begini saya diundang makan siang bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2017. Ini jadi anugerah luar biasa bagi saya," pungkasnya. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... HAI 2017, Mendikbud Gelorakan Semangat Berantas Buta Aksara


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler