jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia perlu dana besar untuk memerangi wabah Virus Corona jenis anyar atau COVID-19. Untuk itu, perlu adanya relaksasi defisit pembiayaan hingga 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
President Director Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri menerangkan apabila angka defisit APBN hanya diproyeksikan 5 persen, dikhawatirkan ekspansi fiskal secara riil tidak akan berubah.
BACA JUGA: Jokowi Disarankan Realokasi Dana Pemindahan Ibu Kota untuk Tangani Wabah Corona
Padahal, perang melawan COVID-19 harus memiliki efek ekspansi fiskal yang riil yang signifikan.
"Sudah saatnya pembiayaan diutamakan dari IMF karena ancaman terbesar dari perang terhadap corona virus yang dilakukan oleh masyarakat dunia akan menyebabkan ancaman krisis neraca pembayaran. Targetnya, awal April dana pinjaman dari IMF sudah dijamin 100 persen diperoleh Indonesia jika membutuhkan,” papar Deni Daruri dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (1/4/2020).
BACA JUGA: Revisi APBN, DPR: Alihkan Anggaran Untuk Memerangi Covid-19
Untuk menjalankan program-program safety net, kata Deni, pembiayaan dalam didapatkan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), yang targetnya pada pertengahan April harus sudah terealisasikan.
"Untuk melakukan program bailout, pembiayaan diproyeksikan berasal dari pendanaan Bank Indonesia, seperti yang juga dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat," paparnya.
BACA JUGA: 39 TKA Asal Tiongkok Masuk ke Bintan, Saleh DPR: Sepertinya Ada Perlakuan Istimewa
Untuk itu, lanjut Deni, Bank Indonesia (BI) harus segera melakukan currency swap dengan bank sentral Amerika Serikat secepatnya.
Untuk pinjaman bilateral akan sulit diperoleh karena semua negara membutuhkan dana untuk perang melawan corona virus ini.
Bahkan, Tiongkok diperkirakan kuartal pertama tahun ini, pertumbuhan PDB-nya mengalami negatif 9%.
Belajar dari sejarah protocol krisis, selama krisis sistemik masa lalu, dana untuk pemulihan krisis tidak dapat dipenuhi dana asuransi deposito saja, tetapi juga harus bergantung pada suntikan likuiditas oleh bank sentral, atau penyediaan dana publik oleh pemerintah.
Dalam jawaban untuk pertanyaan tentang pendanaan cadangan yang mungkin diperlukan ketika perusahaan asuransi tidak memiliki dana yang cukup untuk menutupi klaim asuransi deposito, kata Deni, banyak dari responden survei mengatakan, bahwa mereka mendapatkan dana darurat dengan meminjam dari pemerintah, bank sentral atau lembaga keuangan.
Dan, 17 responden memberikan tanda centang pada kotak untuk meminjam dari bank sentral, 26 pinjaman dari pemerintah, dan 17 pinjaman dari lembaga keuangan tertanggung lainnya.
Sementara itu, 18 yurisdiksi memilih penerbitan obligasi dana asuransi deposito sebagai sumber pendanaan darurat dan 8 memilih sementara pra-pembayaran premi asuransi. 30 dari 51 responden mengatakan mereka menggunakan dua atau lebih metode untuk membiayai kekurangan dana asuaransi deposito.
Ketika ditanya bagaimana mereka merencanakan untuk membayar kembali pinjaman darurat, 15 responden menjawab akan menaikkan premi asuransi deposito, 14 mengatakan mereka akan mengutip penilaian khusus atau kontribusi, dua negara (Nikaragua dan Serbia) mengatakan mereka akan menggunakan uang dari kas sendiri, 10 mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan metode-metode lainnya dan sebanyak 12 mengatakan mereka tidak akan mengambil tindakan apapun.
"Ukuran dan risiko sistemik harus jelas. Di mana setiap penggunaan pembiayaan eksternal untuk menyerap kerugian atau rekapitalisasi lembaga kredit akan menjadi luar biasa dan hanya digunakan dalam kasus-kasus di mana ada kepentingan publik yang kuat," papar Deni.
Persyaratan dalam protokol krisis, menurutnya, harus menetapkan bahwa pengaturan pembiayaan resolusi hanya dapat digunakan untuk menyerap kerugian dan rekapitalisasi bank sekali pemegang saham dan kreditur telah memberikan kontribusi untuk penyerapan kerugian dan rekapitalisasi yang setara dengan minimal 8 persen dari total kewajiban bank, termasuk dana sendiri.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich