jpnn.com, JAKARTA - Banyak pengusaha dari berbagai sektor industri kesulitan memenuhi kewajiban cicilan kredit lantaran bisnisnya sedang sepi terdampak pandemi corona. Tak jarang, mereka terpaksa juga harus memangkas jumlah karyawan demi mengurangi beban keuangan yang harus ditanggung.
“Dalam pantauan kami memang secara NPL (Non Performing Loan/raso kredit bermasalah) sudah mulai ada sedikit kenaikan, yaitu dari 2,77 persen pada bulan sebelumnya menjadi 2,89 persen pada posisi saat ini. Namun dari segi recovery rate (kemampuan pemulihan) masih sangat aman, yaitu mencapai 212,05 persen,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana, dalam seminar bertema ‘Strategi Perbankan Bangkitkan Dunia Usaha di Tengah Pandemi COVID19’ yang diselenggarakan secara virtual.
BACA JUGA: BRI Siapkan 4 Skema Restrukturisasi Kredit Bagi UMKM Terdampak Pandemi Corona
Dengan angka recovery rate perbankan nasional yang demikian sehat, Heru mengajak semua pihak untuk tidak panik dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Pasalnya, pemerintah melalui OJK telah menyiapkan berbagai langkah yang biasa ditempuh sesuai dengan perkembangan yang nantinya terjadi di pasar.
BACA JUGA: PHK Jadi Solusi Pahit Saat Pandemi Corona
"Paket relaksasi tahap pertama telah dijalankan lewat POK Nomor 11. Bila memang diperlukan, paket-paket (relaksasi) lanjutan juga sudah siap (dijalankan),” tutur Heru.
Sejauh ini, menurut Heru, pihaknya telah menyediakan berbagai opsi restrukturisasi kredit yang bisa dijalankan oleh perbankan terhadap nasabah kreditnya yang sedang bermasalah.
BACA JUGA: Dampak Corona, Garuda Indonesia Merumahkan 800 Pegawainya
Beberapa opsi tersebut di antaranya pengembalian posisi bunga ke pokok, penyesuaian jangka waktu kredit, penambahan fasilitas hingga konversi nilai kredit ke penyertaan modal sementara.
“Semua opsi itu kami serahkan sepenuhnya ke masing-masing banknya. Ke masing-masing lembaga pembiayaannya, agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik nasabah kreditnya masing-masing,” papar Heru.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, menyatakan bahwa persoalan likuiditas menjadi hal krusial yang harus benar-benar dijaga untuk menyelamatkan industri perbankan dan bahkan perekonomian nasional.
Sebagai sesama pelaku usaha, Jahja juga mengajak seluruh bank yang ada di Indonesia untuk lebih mengutamakan likuiditas dibanding profitabilitas perusahaan untuk kondisi saat ini.
“Kita bisa banyak belajar dari krisis yang terjadi saat 1998 dulu, di mana perekonomian babak-belur gara-gara likuiditas yang tidak tersedia di pasar. Saya ingat betul, sekitar setahun sebelumnya, hampir kita semua sangat yakin bahwa gelombang krisis tidak akan sampai ke Indonesia karena nilai tukar kita saat itu sangat kuat. Dollar di kisaran Rp2.000an, tapi ketika melonjak drastis hingga Rp15.000an per dollar, otomatis likuiditas kita terkuras,” ujar Jahja.
Dikisahkannya, periode awal krisis masuk Indonesia diawali dengan ditutupnya 16 bank-bank kecil. Karena saat itu belum ada sistem penjaminan yang saat ini diperankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maka sontak penutupan bank sebanyak itu membuat masyarakat panik.
Penarikan uang secara besar-besaran terjadi, sehingga makin membuat likuiditas yang tersedia menjadi sangat terbatas.
“Karena itu, dengan pengalaman yang ada, kita harus satukan semangat untuk menjaga likuiditas. Soal profitabilitas nanti dulu saja. Kita selamatkan dulu angsanya, untuk nantinya ketika sudah aman, telurnya bisa kita bagi dan nikmati bersama-sama,” ucap Jahja.
Ajakan Jahja untuk perbankan lebih mengedepankan likuiditas dan mengesampingkan dulu pertimbangan profitabilitas disambut baik oleh kalangan pengusaha.
Dengan adanya komitmen dari perbankan tersebut, para pengusaha berharap memiliki ruang lebih untuk berimprovisasi dan berinovasi untuk dapat bertahan di tengah tekanan pandemi COVID19.
Termasuk juga opsi memanfaatkan fasilitas restrukturisasi kredit bagi para pengusaha yang posisi cashflownya tengah bermasalah seiring dengan lesunya aktivitas bisnis yang digelutinya.
“Terima kasih Pak Jahja. Mendengar komitmen bapak bahwa yang utama saat ini adalah saling bahu-membahu menjaga likuiditas, kami sangat senang dan sumringah. Artinya kita sudah sepaham bahwa jangan dulu mengedepankan profitabilitas masing-masing. Mari kita saling berkolaborasi agar bisa menghadapi (kondisi pandemi) ini bersama-sama,” ungkap Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaya Kamdani, dalam kesempatan yang sama.(chi/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Yessy