jpnn.com - jpnn.com - Perbankan di Indonesia dinilai masih bermain aman dalam menyalurkan kredit.
Padahal, mayoritas perbankan dalam kondisi sehat dan tidak memiliki risiko kegagalan yang bersifat sistemis.
BACA JUGA: Kembangkan Pertanian, 3 Bank BUMN Dapat Kredit Khusus
Penerima Nobel 2003 Robert F. Engle III menilai, hanya ada tiga bank di Indonesia yang memiliki risiko kegagalan sistemik yang tinggi bila terjadi krisis ekonomi.
’’Sedangkan bank-bank lainnya hampir sama sekali tidak memiliki risiko krisis,” katanya dalam kuliah umum The Prospect for Global Financial Stability di Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (20/2).
BACA JUGA: Penyaluran Kredit Perbankan Tembus Rp 400 Triliun
Risiko sistemik adalah indikasi dampak kegagalan satu institusi terhadap kelangsungan ekonomi di sekelilingnya.
Sektor keuangan menempati fondasi perekonomian suatu negara.
BACA JUGA: OJK Likuidasi BPR di Sidoarjo
Karena itu, risiko sistemik di sektor keuangan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.
Menurut Engle, risiko sistemik perbankan Indonesia cukup rendah, bahkan cenderung minus.
Alasannya, perbankan belum efektif menjalankan perannya sebagai penggerak likuiditas.
”Sehingga kinerja perbankan Indonesia belum terlalu berdampak terhadap perekonomian,” urainya.
Di kawasan Asia Tenggara, sambung Engle, risiko sistemik terbesar dihadapi perbankan di Singapura.
Setelah itu, perbankan Malaysia, Vietnam, Thailand, baru Indonesia.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menilai, perbankan di Indonesia menghindari sektor-sektor tertentu yang tingkat ketidakpastiannya tinggi.
Karena itu, perbankan cenderung memilih meminjamkan dana ke pegawai karena pengembaliannya dapat dilakukan dengan potong gaji.
”Di sisi lain, justru tidak menjadikan kinerja perbankan dalam negeri optimal,” imbuhnya.
Untuk memacu peran perbankan dalam menggerakkan perekonomian, pemerintah tahun ini akan mengucurkan kredit usaha rakyat di sektor yang lebih produktif.
Misalnya pertanian dan perikanan. Porsinya akan ditingkatkan dari 15 menjadi 40 persen.
’’Selama ini KUR memang masih didominasi oleh sektor perdagangan,” jelas Mulia.
Mulia juga menyoroti lemahnya permintaan kredit sebagai salah satu penyebab rendahnya peran perbankan dalam pembiayaan perekonomian.
”Permintaan kredit juga masih lemah,” terangnya. (vir/c17/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Premi Restrukturisasi Perbankan Masih Dikaji
Redaktur & Reporter : Ragil