JAKARTA - Rasio elektrifikasi yang rendah membuat kebutuhan investasi untuk pengembangan listrik di Indonesia sangat tinggiSayangnya, dukungan perbankan dalam pendanaan sektor listrik belum optimal.
Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Nasri Sebayang mengatakan, kurangnya dukungan perbankan inilah menjadi salah satu penyebab rendahnya realisasi proyek listrik swasta atau independent power producer (IPP).
"Selama ini, pengembang IPP selalu bilang ke kami kalau kesulitan mencari pendanaan dari bank," ujarnya saat seminar nasional Ikatan Bankir Indonesia (IBI) di Jakarta kemarin (24/11).
Menurut Nasri, salah satu kendala kurangnya pendanaan, terutama listrik swasta disebabkan perbankan masih belum yakin dengan rencana-rencana pengembangan sektor kelistrikan
BACA JUGA: IHSG Berusaha Bangkit
"Padahal, kebutuhan investasi sektor listrik sangat besar," katanya.Berdasar hitungan PLN, kebutuhan investasi PLN dan IPP sepanjang 2010 hingga 2019 mencapai USD 97,1 miliar (sekitar Rp 873 triliun) atau USD 9,7 miliar per tahun
Menurut Nasri, dari total kebutuhan investasi USD 97,1 miliar, sekitar USD 70,6 miliar di antaranya dibutuhkan untuk membangun pembangkit
BACA JUGA: Akuisisi Medco oleh Pertamina Dikritisi Politisi
Kemudian USD 15,1 miliar untuk membangun jaringan transmisi, dan USD 11,2 miliar jaringan distribusi.Dia mengakui, saat ini kucuran pendanaan perbankan sudah mulai mengalir ke PLN
BACA JUGA: PT EMP Akuisi Saham Blok Masela
Meski demikian, sektor listrik masih butuh pendanaan yang lebih banyak"Terutama untuk IPPSebab, tanpa IPP PLN akan kesulitan memenuhi kebutuhan daya listrik nasional," ujarnya.Memang, jika dibandingkan dengan sektor lain, kucuran kredit perbankan ke listrik masih timpangData statistik perbankan Bank Indonesia (BI) menunjukkan, sepanjang Januari?September 2010 kucuran kredit ke sektor listrik, gas, dan air bersih baru Rp 29,1 triliunSedangkan pada 2009, total kredit ke sektor ini hanya Rp 18,4 triliunTentu, angka itu masih jauh di bawah kebutuhan investasi yang mencapai USD 9,1 miliar atau setara Rp 81 triliun per tahun.
Namun, pihak perbankan mengakui jika dalam dunia perbankan tidak pernah ada istilah menganaktirikan sektor tertentuSebelumnya, Direktur Risk Management PT Bank Mandiri Sentot ASentausa mengatakan core business atau bisnis inti perbankan adalah menyalurkan kredit"Kalau kami melihat prospek bagus, pasti kami salurkan kredit," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, jika memang ada beberapa sektor yang merasa belum mendapat kucuran kredit, itu artinya perbankan masih melihat adanya faktor risiko bisnis"Yang dibutuhkan adalah komunikasi antara perbankan dengan sektor riilSebab, kalau menyalurkan kredit ke sektor yang belum kami pahami, kemudian macet, kami takut juga," katanya(owi/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Volvo Incar Pasar Alat Berat Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi