Percepatan Ekspor dan Diversifikasi Bawang Merah

Jumat, 13 Oktober 2017 – 23:27 WIB
Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Spudnik Sujono, menyatakan tak ada impor bawang merah sejak 2016 sampai Oktober 2017. Foto dok humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Spudnik Sujono, menyatakan tak ada impor bawang merah sejak 2016 sampai Oktober 2017. Hal tersebut karena pemerintah optimistis dengan capaian produksi dalam negeri yang melampaui kebutuhan nasional dan dalam rangka melindungi petani.

"Dukungan APBN, APBD, mekanisasi pertanian, skema pembiayaan, dan regulasi hulu-hilir, terus digulirkan untuk mewujudkan swasembada bawang merah berkelanjutan. Hal ini, tentu saja berimplikasi dengan maraknya pertanaman bawang merah seantero Indonesia raya," ujar Spudnik di Jakarta, Jumat (13/10).

BACA JUGA: BKP Pastikan Kebijakan Pangan untuk Sejahterakan Petani

Dalam dua tahun terakhir, kata Spudnik, banyak sentra baru bawang merah. Misalnya, di Solok Sumatera Barat, Demak Jawa Tengah, Enrekang Sulawesi Selatan, Tapin Kalimantan Tengah, Nganjuk Jawa Timur, Bima Nusa Tenggara Barat, Malaka Nusa Tenggara Timur, dan lainnya. Sehingga, sekarang tak melulu Brebes dan Cirebon, bila menyinggung bawang merah.

"Sehingga, daerah-daerah yang awalnya sangat tergantung dengan pasokan yang ada di Pulau Jawa, sedikit demi sedikit mampu mandiri bawang merah. Dan hal ini, telah membentuk suatu tatanan tata niaga yang baru, di mana jalur distribusi dari dan ke suatu daerah memiliki kecenderungan berubah," jelasnya.

BACA JUGA: HPS Tunjukkan pada Dunia Pertanian Indonesia Cukup Maju

Karenannya, perdagangan bawang merah kini sedang menuju titik keseimbangan baru yang ditandai dengan makin rendahnya fluktuasi dan menipisnya disparitas harga.

Mantan Sekretaris Ditjen Tanaman Pangan Kementan itu, kemudian menjabarkan perbandingan produksi dan luas panen bawang merah pada 2016 yang menunjukkan terjadi lonjakan signifikan. Tahun lalu, luas panen mencapai sekitar 149,6 ribu hektare dengan produksi 1,45 juta ton. Artinya, luas tanam naik 22,5 persen dibanding 2015. Kemudian, target produksi bawang merah naik 17,7 persen pada 2017.

BACA JUGA: Peringatan Hari Pangan Sedunia Bakal Digelar di Pontianak

"Dengan jumlah produksi tersebut, dapat memenuhi kebutuhan di dalam negeri sekitar 1,1 juta ton per tahun atau ?kebutuhan bawang merah rata-rata per bulan sekitar 88 ribu ton," katanya.

Alhasil, terjadi stabilitas pasokan dan harga, sebagaimana pada Ramadan kemarin. Bahkan, bawang merah kembali menjadi faktor deflasi nas??ional pada Agustus 2017. Hal tersebut pun mendorong optimisme publik, bila kebutuhan dalam negeri mampu tercukupi dengan harga wajar, bahkan cenderung turun.

Peraih Satylancana Karya Satya XX ini juga menguraikan perkembangan impor bawang merah di tanah air. Pada 2014, volumen ekspor mencapai 74.903 ton dan berkurang menjadi 17.429 ton di 2015. Lantas, keran impor berhasil ditutup pada 2016 sampai sekarang. Malah, ada ekspor sebesar 735 ton.

"Jika ada bawang merah impor yang masuk ke pasar dalam negeri, maka perlu dipastikan kebenaran komoditas, informasi, dan legalitasnya," ucapnya.

Sebab, sejauh ini rekomendasi impor yang dikeluarkan pemerintah cuma untuk bawang bombai. Impor tersebut sesuai regulasi dan standar mutu yang diratifikasi bersama dalam Asean Standard for Onion.

Spudnik menambahkan, turunnya harga bawang merah turut dipengaruhi pertanaman bawang merah cenderung dilakukan bersamaan waktunya di banyak sentra produksi. Berdasarkan data pantauan harga Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura di minggu ketiga Juli 2017 sampai sekarang, cenderung stabil rendah. Harga di tingkat petani wilayah sentra menyentuh titik terendah Rp6.000-Rp8.000 per kilogram.

Menurutnya, hal tersebut terjadi, karena pasokan bawang merah tidak serta merta terdistribusi ke wilayah shortage lainnya. Sebab, wilayah penumbuhan lain telah mengembangkan bawang merah dan hanya mampu menyerap sedikit saja untuk menutupi kekurangan pasokan di pasar lokalnya. "Artinya, harga kembali menuju titik keseimbangan baru," terangnya.

Peraih gelar doktor dari Universitas Brawijaya itu mengaku, turunnya harga bawang merah di bawah batas bawah (foor price) yang ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2017, membuat semua pihak prihatin. Pemerintah, Spudnik menegaskan, tidak berdiam diri melihat fenomena tersebut. Satu bentuk upaya yang dilakukan ialah mendorong ekspor ke beberapa negara tetangga.

"Data ekspor dari bulan Januari-Agustus 2017, tercatat sebesar 1.782 ton. Beberapa waktu lalu, ekspor bawang merah dari Brebes sebesar 500 ton dari target 5.600 ton ke Thailand, dilanjutkan ekspor dari Surabaya," urainya.

Volume ekspor dari Surabaya ke Thailand dan Singapura mencapai 247,5 ton senilai US$436.500 (setara Rp4,7 miliar). Kamis (12/10/2017) kemarin, kembali ekspor bawang merah ke Timor Leste di perbatasan sebanyak 30 ton dari komitmen 200 ton. "Besok (14/10/2017), kami juga akan kembali ekspor ke negara tetangga dari Enrekang," tuturnya.

Berdasarkan Permendag Nomor 27 Tahun 2017, harga bawang merah konde basah di tingkat petani sebesar Rp15.000 per kilogram, konde askip Rp18.300 per kilogram, dan rogol askip Rp22.500 per kilogram.

Kata Spudnik, pihaknya juga telah menyiapkan solusi jangka pendek dan panjang dalam rangka menjaga harga bawang merah di tingkat petani, agar kesejahteraannya terjaga. Solusi jangka pendek, seperti mendorong Badan Urusan Logistik (Bulog) segera menyerap bawang merah sesuai harga acuan pemerintah.

Kemudian, menginstruksikan Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura (PPHH) berkomunikasi dengan mitra industri makanan, agar menyerap bawang merah petani yang sedang turun.

Ketiga, bermitra dengan Toko Tani Indonesia (TTI) untuk turun dan menyerap bawang merah petani. Terakhir, mendorong petani mengolah bawang merah menjadi produk yang dapat disimpan dan punya nilai jual tinggi.

Sedangkan solusi jangka panjang, pertama, menyosialisasikan teknologi budidaya rendah pestisida atau ramah lingkungan, karena komponen tersebut mencakup 25 persen biaya produksi.

Kedua, Menggalakan mekanisasi pertanian, agar biaya tenaga kerja turun, mengingat biaya tenaga kerja sekira 30 persen dari total ongkos produksi. Ketiga, menjalin kerja sama permanen dengan industri makanan.

Keempat, membangun disiplin petani dalam penerapan manajemen tanam komoditas hortikultura. Kelima, mengajari petani mengolah hasil panen bawang merah, agar lebih awet dan harganya tinggi kal dijual.

"Semua itu kami lakukan sesuai amanat Pak Presiden dan terus diingatkan Pak Menteri, bahwa kami harus terus berada di sisi petani. Maka, saat harga jual hasil panen jatuh, wajib bagi kami turut hadir dan mencari cara untuk menyelesaikannya. Jadi, bukan cuma saat harga tinggi saja kami turun," pungkas Spudnik.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kementan Gelar Kunjungan Pers ke Tuban, Ini Harapannya


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler