Kesepakatan perdagangan kemitraan antara Indonesia dan Australia yang menghapuskan sebagian besar tarif perdagangan kedua negara secara efektif mulai berlaku pada Minggu (5/07/2020).
Perdagangan bebas ini juga bertujuan untuk membuka investasi baik Australia di Indonesia, maupun sebaliknya.
BACA JUGA: Dua Warga Victoria Meninggal Karena COVID, Perbatasan Victoria dan New South Wales Akan Ditutup
Di saat Australia fokus ke produk pertanian, Indonesia dinilai belum memiliki keunggulan kompetitif.
"Australia sudah spesifik fokus ke produk-produk pertanian sementara Indonesia masih terlalu umun, belum memiliki keunggulan kompetitif yang spesifik," jelas ekonom dari INDEF Bhima Yudhistira dalam perbincangan dengan ABC Indonesia.
BACA JUGA: Visa Perempuan Asal Indonesia Ditolak Australia, Pasangannya Sampai Putus Asa
External Link: Facebook ABC Indonesia LIVE IA CEPA
Perjanjian yang secara formal disebut Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) telah diratifikasi oleh kedua pihak, terakhir oleh DPR RI pada Februari lalu.
BACA JUGA: Wakil Indonesia Kecam UU Antiterorisme Filipina
Tujuannya untuk meningkatkan perdagangan bilateral yang pada tahun 2019 bernilai $7,8 miliar atau sekitar Rp 78 triliun.
Ekspor-impor antara kedua negara pada tahun 2019 menunjukkan Australia fokus di produk ternak senilai $479 juta, sereal $214 juta, buah-buahan $79 juta, dan sayuran $17 juta.
Sedangkan ekspor Indonesia ke Australia meliputi produk kayu senilai $179 juta, bubuk kertas dan kertas $89 juta, sepatu $73 juta, serta pakaian $66 juta. Photo: Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara yang memberlakukan hambatan non-tarif (NTM) yang jauh lebih banyak jumlahnya dibanding NTM di Indonesia sendiri. (Istimewa: WTO)
Menurut Bhima, selain faktor produk unggulan ekspor tersebut, yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam implementasi IA-CEPA yaitu faktor hambatan non-tarif (NTM).
Ia menjelaskan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak perjanjian perdagangan bebas dengan berbagai negara selain Australia, termasuk dengan Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan China.
"Banyak pengusaha Indonesia yang melakukan ekspor ke negara-negara tersebut, ternyata mengalami hambatan non tarif," kata Bhima.
"Apakah dengan memperbanyak perjanjian dagang, kita bisa secure dari sisi ekspornya. Karena toh dari jumlah NTM Indonesia sedikit, sementara mitra-mitra dagangnya sangat besar jumlah NTM-nya," ujarnya. IA-CEPA lebih komprehensif
Menanggapi hal itu, Ayu Siti Maryam dari Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC) Departemen Perdagangan RI di Sydney menjelaskan, perjanjian IA-CEPA lebih komprehensif dan berbeda dengan perjanjian lainnya yang hanya fokus pada masalah liberalisasi tarif.
"IA-CEPA ini mencakup jasa, investasi, bahkan ada chapter-chapter tertentu mengenai kerjasama ekonomi," jelas Ayu dalam perbincangan dengan Farid M. Ibrahim dari ABC.
"Sebelum IA-CEPA total perdagangan kedua negara posisinya masih sama di rangking 12. Artinya, Indonesia masih menjadi mitra dagang di posisi ke-12 bagi Australia. Begitupula sebaliknya," jelasnya.
Menurut Ayu, pasal-pasal dalam IA-CEPA yang terkait dengan kerjasama ekonomi merupakan salah satu cara untuk menyiasati adanya hambatan non tarif.
"Ada berbagai kerjasama yang payungnya adalah IA-CEPA, dengan tujuan menjembatani eksportir dapat bersaing untuk masuk ke pasar Australia," ujarnya.
Ia menambahkan, impor Indonesia dari Australia saat ini kebanyakan berupa barang mentah seperti gandum dan sapi.
Tapi Ayu tidak sependapat jika dikatakan Indonesia belum fokus, karena menurutnya, Indonesia selama ini telah mengekspor produk-produk yang sudah memiliki nilai tambah.
"Contohnya, Australia itu mengimpor 60 persen untuk perikanannya. Suplai dalam negerinya tak cukup. Nah, Indonesia mengekspor ke Australia kebanyakan sudah dalam bentuk fillet (sudah diolah)," jelasnya.
Anda bisa simak dialog soal kemitraan perdagangan Australia dan Indonesia melalui halaman Facebook ABC Indonesia. Mendorong pelaku bisnis
Sementara itu, seorang praktisi bisnis yang banyak mengipor barang-barang Indonesia ke Australia, Antonius Auwyang, menyambut baik berlakunya IA-CEPA.
"Kita telah mempelajari ada lebih dari 6.400 item barang yang bisa bebas bea masuk ke Australia," jelasnya.
Ia menyebut bahwa dengan berlakunya tarif nol terhadap barang-barang dari Indonesia, maka secara tidak langsung akan menguntungkan para konsumen di Australia.
"Dengan adanya tarif nol persen, kita sebagai pebisnis juga bisa menurunkan harga produk yang dijual ke konsumen," kata Antonius, pendiri perusahaan ekspor impor Sony Trading.
Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu (5/07) menyebutkan, momentum IA-CEPA ini diharapkan bisa menjaga kelangsungan perdagangan dan daya saing pengusaha Indonesia.
"Seluruh produk ekspor Indonesia ke Australia dihapuskan tarif bea masuknya. Untuk itu tarif preferensi IA-CEPA ini harus dimanfaatkan secara maksimal oleh para pelaku usaha Indonesia agar ekspor Indonesia meningkat," kata Menteri Agus Suparmanto.
Sementara itu, kalangan industri peternakan Australia juga menyambut baik kesepakatan ini, misalnya dari Australian Dairy Industry Council (ADIC).
Dalam sebuah pernyataan, organisasi ini menjelaskan Indonesia merupakan importir terbesar ketiga dari produk susu Australia setelah China dan Jepang.
Pada tahun keuangan 2018/19, Australia telah mengekspor 56.647 ton susu ke Indonesia senilai $192 juta.
"Perjanjian sangat positif bagi industri susu Australia," kata Ketua ADIC Terry Richardson.
Ikuti berita dan informasi terbaru dari Australia di ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Sudah Habiskan Rp 35 Miliar untuk Membantu Indonesia Melawan COVID-19