Gayatri, yang hanya ingin disebut dengan nama depannya, menganggap dirinya seorang wanita Muslim yang "normal" di Indonesia.

Dia mengenakan jilbab, sholat lima kali sehari, berpuasa selama bulan Ramadhan, dan secara teratur memberikan amal - semua merupakan rukun Islam.

BACA JUGA: Jokowi Dan Prabowo Saling Serang Di Debat Pilpres 2019 Kedua

Namun, ibu dari dua anak ini mengatakan beberapa keluarga besarnya - terutama generasi yang lebih tua - mengatakan dia tidak memenuhi "standar Islam" mereka.

Dia mengatakan itu semua dimulai setelah pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017, yang secara luas dilihat sebagai ujian toleransi agama dan etnis di Indonesia - negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.

BACA JUGA: Ditemukan Grafiti Pemburu Paus Dari Abad Ke-19 Di Australia Barat

Kampanye pilkada DKI Jakarta sangat sengit dan memecah belah, dengan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama - juga dikenal sebagai Ahok - diadili atas tuduhan penistaan ??agama.

"Saya membagikan potret keluarga saya dalam grup WhatsApp, [dan] kami semua mengenakan kemeja kotak-kotak [pakaian yang menjadi ciri khas Ahok] dan salah satu dari mereka bertanya mengapa saya mendukung orang Tionghoa Kristen?" Kata Gayatri.

BACA JUGA: Pencari Suaka di Pulau Manus Dan Nauru Akan Jalani Penilaian Baru

Ketegangan meningkat jelang debat presiden Photo: Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama menggunakan kemeja kotak-kotak yang menjadi ciri khasnya pada pilkada DKI Jakarta tahun 2017. (AP: Dita Alangkara)

Gayatri tahu beberapa paman dan bibinya secara terbuka mendukung calon presiden Prabowo Subianto dan partai-partai Islam konservatif.

"Mereka sepenuhnya sadar bahwa saya menjalani ajaran agama saya, tetapi tetap saja mereka mempertanyakan apakah saya mengikuti pengajaran yang benar," katanya.

Dia mengatakan sepertinya paman dan bibinya berpikir bahwa mereka adalah Muslim yang lebih baik daripada yang lain.

"Mereka menjadi menghakimi dan juga dengan mudah menuduh orang lain sebagai komunis, pro-Cina, atau pro-Barat."

Gayatri tidak sendirian dalam pengalamannya; banyak orang Indonesia menghadapi perdebatan sengit tentang pilihan-pilihan politik dalam keluarga dan lingkungan pertemanan mereka hampir setiap hari.

Dan kondisi itu semakin intensif menjelang pemilihan 17 April antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang hari Minggu malam tampill dalam debat kedua Minggu (17/2/2019) malam.

Nadirsyah Hosen, dosen senior hukum Islam di Universitas Monash di Melbourne mengatakan politisasi agama memecah belah bangsa hingga ke tingkat akar rumput.

"Apakah ini akan bersifat sementara atau berlanjut setelah pemilihan, masih harus kita lihat," kata Nadisyah Hosen kepada ABC.

Dia mengatakan sementara orang luar, termasuk media barat, mungkin berpikir Indonesia telah bergeser lebih jauh ke kanan karena kalangan ulama, namun tidak semua pengkhotbah radikal.

"Kita juga harus berhati-hati untuk tidak menggeneralisasi bahwa setiap orang yang menentang Joko Widodo adalah radikal," kata Hosen.

Dia mengatakan polarisasi politik di Indonesia adalah sesuatu yang unik dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya di Timur Tengah.Pengaruh ulama Islam Photo: Banyak Muslims di Indonesia mengaku mereka tidak keberatan mendengar ceramah agama, namun jangan menghakimi. (ABC News: David Lipson)

Berbicara di seminar Monash University Indonesia, Associate Professor Julian Millie, seorang ahli studi Islam, mengatakan ulama Muslim memiliki keterlibatan dan pengaruh yang signifikan dalam arena politik Indonesia, baik di tingkat nasional dan lokal.

Salah satu contohnya adalah keputusan Jokowi - yang sering dituduh tidak cukup religius - untuk memilih ulama Muslim konservatif Ma'ruf Amin sebagai pasangannya.

Banyak pakar mengatakan Ma'ruf Amin ada di sana untuk menjadi "perisai politik" bagi Presiden Joko Widodo.

Di sisi lain dari kontes pilpres kali ini, Prabowo Subianto dilaporkan pernah mempertimbangkan untuk berpasangan dengan Abdul Somad, seorang ulama Islam populer dengan jutaan pengikut di media sosial.

Abdul Somad menolak tawaran itu tetapi mendukung Prabowo Subianto.

Julian Millie baru-baru ini melakukan tur selama sebulan penuh dengan seorang ulama Islam setelah kampanye seorang kandidat lokal di provinsi Jawa Barat.

"Ulama tersebut memberikan ceramah utama yang mungkin berlangsung selama 50 menit dan kemudian kandidat lokal hanya berbicara selama lima menit," katanya, menambahkan bahwa kandidat hanya ingin dikaitkan dengan ulama untuk membangun profil politik yang kuat.

Dia mengatakan dalam pemilihan lokal, para kandidat sangat bergantung pada ulama Islam untuk menyampaikan pesan mereka kepada massa yang besar.

"Jika Anda bertanya kepada para ulama calon mana yang mereka dukung, tentu saja jawaban mereka akan memengaruhi pengikut mereka. Tetapi saya tidak tahu sampai sejauh mana," kata Millie. Photo: Rizieq Shihab (di foto kanan) dengan pengusaha dan politisi Indonesia Prabowo Subianto.

Gayatri mengatakan anggota keluarga besarnya yang konservatif tidak pernah mencoba membujuk anggota keluarga lain untuk mengubah pandangan politik mereka, tetapi malah "menyerang mereka" di forum seperti WhatsApp.

"Kami mengalami dua perselisihan keluarga besar-besaran tentang pilihan politik," katanya.

"Secara pribadi, itu mengganggu saya. Saya lelah dan sedih."

Tapi dia bilang dia akan terus menjadi dirinya sendiri meskipun itu tidak mudah.

Meskipun perdebatan sengit di media sosial, Gayatri mengatakan dia masih bersedia bertemu keluarga besarnya selama perayaan Idul Fitri dan acara keluarga lainnya.

"Sebagai Muslim, adalah kewajiban kita untuk menjaga hubungan yang baik dengan saudara dan teman kita," katanya.

Dia mengatakan memutuskan ikatan keluarga dan persahabatan karena alasan politik tidak perlu dan juga bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia, yang mengutamakan keluarga.

Simak beritanya dalam bahasa Inggris disini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Capres-Cawapres Indonesia Diminta Lebih Fokus Ke Energi Terbarukan

Berita Terkait