Sebuah laporan terbaru mengatakan pelecehan di jalanan di Melbourne sebagian besar dialami perempuan Asia. (ABC News: GFX/Jarrod Fankhauser)
Sebuah laporan terbaru di Australia menyebutkan banyak perempuan mengalami pelecehan seksual di jalan-jalan namun ketika melapor ke pihak berwajib, mereka malah kecewa.
Sebuah laporan menyatakan pengalaman pelecehan itu banyak dialami perempuan yang bukan berkulit putih.
Setelah mengalami pelecehan rasial dan seksual sejak berusia 12 tahun, seorang perempuan keturunan Asia di Sydney, Holly Tang, tak ingin anaknya yang berusia 4 tahun mengalami hal serupa.
Enam tahun lalu Holly Tang, yang bekerja sebagai pengacara, kembali mengalami peristiwa yang belum bisa dia lupakan.
BACA JUGA: Harga Sapi Australia Mencetak Rekor Tertinggi, Pengolah Daging Sangat Tertekan
Dalam perjalanan pulang dari stasiun kereta di Campsie, Sydney Barat, sekitar pukul 10 malam, mendengar ada seseorang di belakangnya.
"Seorang pria yang mabuk memeluk saya dari belakang dan meraba-raba tubuh saya," tulis Holly di akun Facebooknya pada 2017.
BACA JUGA: Oknum Dosen Tersangka Pencabulan Anak, Rektor Unej Terbitkan SK
Dia berani berbicara terbuka mengenai insiden di tahun 2014 tersebut setelah adanya gerakan #MeToo yang mengglobal.
"Saat itu saya sadar akan diperkosa bila saya tidak memberontak dan hanya berdoa meminta pertolongan Tuhan," katanya.
Namun pria tersebut berhenti dan melarikan diri.
Holly melaporkan insiden ini ke polisi, yang menggolongkan tindakan itu sebagai serangan tidak senonoh.
"Saya masih bisa mencium bau alkohol di tubuh saya," kata Holly kepada ABC.
Ia mengaku kejadian ini bukanlah yang pertama kalinya dia alami di tempat umum.
Holly menjelaskan saat dia berusia 12 tahun, seseorang mencubit pantatnya ketika berada di dalam bis kota.
Di saat tumbuh dewasa, dia mengatakan sering didekati oleh pria yang kemudian berteriak "Ni Hao" (Apa kabar) kepadanya.
Ucapan Ni Hao biasa digunakan dalam bahasa Mandarin untuk bertanya kabar seseorang namun kadang juga digunakan untuk mengejek warga Asia.
"Saya merasa warna kulit saya dan rambut saya yang hitam menyebabkan saya jadi sasaran rasisme dan serangan," kata Holly.
Berbagai insiden ini terjadi bersamaan dengan cara dia dibesarkan dan identitas budaya yang dirasakannya.
"Rasisme dan perundungan dianggap normal, mendapat kata-kata makian juga dianggap normal, jadi pelecehan seksual juga dianggap normal?" ujarnya.
Pengalaman Holly Tang ini terjadi juga pada banyak perempuan, menurut sebuah laporan mengenai pelecehan di jalan-jalan yang terjadi di negara bagian Victoria.
Laporan dari lembaga advokasi bernama It's Not A Compliment (INAC) ini disusun dari hasil survei terhadap 343 responden yang mengalami pelecehan di jalan.
Bentuknya mulai dari panggilan mesra, siulan genit, diklakson mobil hingga disentuh di tempat umum.
Disebutkan, 91,4 persen yang mengalami pelecehan itu adalah perempuan, 89 persen di antaranya bermotif seksual.
Sekitar 25 persen korban merupakan perempuan bukan berkulit putih, kebanyakan dari Asia Tenggara disusul Asia Selatan, dan Asia Timur.
Asia Tenggara adalah mencakup negara ASEAN, Asia Selatan berasal dari India, Pakistan dan Bangladesh, sementara Asia Timur merujuk pada Korea Selatan, Jepang dan Tiongkok.
Natasha Sharma dari INAC menjelaskan meski data ini terbatas, namun informasinya menunjukkan bahwa pelecehan di jalanan itu tidak hanya karena faktor jenis kelamin, namun juga ada faktor ras.
Dia mengatakan apa yang dialami oleh perempuan Asia berbeda dengan apa yang dialami perempuan berkulit putih karena adanya faktor ras.
Dalam sebuah laporan ke INAC, seorang perempuan mengaku didekati oleh seorang pria di jalan yang mengatakan "saya suka perempuan berkulit coklat, saya tidak rasis" dan "saya suka kalau bisa mendapatkan kamu".
"Kami coba menunjukkan bahwa pelecehan di jalan-jalan memiliki bentuk yang beraneka ragam, tak sekadar apa yang biasa kita sebut pelecehan secara umum," kata Natasha.
Laporan INAC menunjukkan bahwa pada umumnya insiden pelecehan di jalan menurun selama lockdown COVID-19.
Namun pelecehan terhadap perempuan Asia terus berlanjut. Pelecehan bernada seksual menurun namun yang bernada rasial terus berlanjut.
6,1 persen responden menghadapi peningkatan pelecehan dalam hubungan dengan pandemi, dengan mayoritas adalah dari kalangan Asia.
Sarah Tan seorang seniman asal Malaysia yang sekarang tinggal di Melbourne mengatakan bahwa ketika dia pindah dari Sydney bulan Maret lalu, salah seorang pekerja yang mengurusi barang-barangnya mengatakan salah satu perabotannya "pasti terkena COVID".
Ketika ABC mengontak perusahaan yang mengurusi perpindahan tersebut, wartawan ABC diminta untuk "memperbaiki bahasa Inggrisnya" dan mengatakan polisi akan mendapat laporan soal panggilan telepon tersebut.
Sarah mengatakan selain karena latar belakang etnisnya, dia merasa mendapat perlakuan demikian karena dia seorang perempuan.
Laporan INAC ini sejalan dengan apa yang dilaporkan Aliansi Asia Australia (AAA) mengenai rasisme terhadap warga Asia di Australia yang mengatakan 66 persen responden yang mengalami adalah perempuan.
Erin Chew dari AAA mengatakan kebanyakan insiden yang dialami perempuan Asia terjadi di toko, tempat parkir pusat perbelanjaan, dan saat mereka mereka sedang berjalan.
"Data menunjukkan bahwa perempuan Asia menjadi target yang mudah jadi sasaran bagi pelecehan rasial di Australia," kata Erin.
Laporan INAC juga menyebutkan sebelum COVID-19, sekitar 25 persen responden mengaku mendapat pelecehan publik beberapa kali dalam sebulan.
Dari yang melaporkan insiden tersebut, lebih dari 90 persen mengatakan tidak puas dengan hasil laporan mereka.
Natasha dari INAC mengatakan banyak pelapor merasa tidak aman atau percaya diri untuk melaporkan ke polisi, dan yang lain mengatakan pelaporan tidak efektif menyelesaikan masalah.
"Polisi tidak mendapatkan pelatihan memadai untuk mengurusi insiden seperti ini," kata Natasha.
Holly Tang yang melaporkan kejadian ke Kepolisian New South Wales di tahun 2015 merasa kecewa dan semakin trauma setelah itu.
"Saya langsung ke kantor polisi, namun tak menyadari bahwa saya akan berada di sana selama dua tiga jam untuk menceritakan kejadian," katanya.
"Saya juga tak menyadari harus membuka baju agar polisi bisa mengambil foto. Pengalaman itu saja sangat traumatis," ungkapnya.
Satu setengah tahun kemudian, polisi menyatakan sudah menutup kasus yang dilaporkan Holly karena tak bisa menemukan pelakunya.
Juru bicara polisi menyatakan, "Kepolisian NSW memperlakukan semua laporan kejadian secara serius dan kami mendorong siapa saja yang memiliki informasi mengenai tindakan penyerangan apapun untuk melapor ke polisi."
Holly mengatakan sekarang dia berusaha semaksimal mungkin agar putrinya yang berusia empat tahun tidak mengalami apa yang pernah dialaminya.
"Saya berharap anakku yang setengah bule, setengah Asia ini lebih mirip bapaknya, sehingga dia tidak menjadi sasaran," katanya.
"Saya sangat berharap semua orang menyadari masalah ini. Kadang terasa masyarakat kita maju satu langkah, kemudian mundur dua langkah," ujar Holly.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari artikel di
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tidak Sadar Kamera, Anggota Parlemen Kanada Pamer Kemaluan Saat Sidang Daring