Warga Indonesia di Australia, Wendy Hartanti meninggalkan Indonesia untuk menghindari kerusuhan tahun 1998.

Mengikuti arahan orangtuanya, Wendy yang saat itu berusia 11 tahun pindah ke Perth, Australia bersama kakaknya yang berusia 13 tahun.

BACA JUGA: India Punya Solusi Untuk Masalah Puntung Rokok yang Berserakan di Jalanan

Wendy masih ingat bagaimana ia mendengar ibunya diserang secara fisik di tempat kerja karena rasnya ketika masih di Indonesia.

Menurutnya ini terjadi beberapa minggu sebelum kerusuhan 1998 meletus di Indonesia.

BACA JUGA: Bisnis Konstruksi di Tasmania Memperkerjakan Migran dan Pencari Suaka

Wendy juga masih ingat ketika ia dipanggil "Tiongkok" oleh orang di jalan saat berada di Jepara, Jawa Tengah, tempatnya tinggal saat itu.

Tapi motif di balik perilaku ini sulit dimengerti olehnya yang pada saat itu masih anak-anak.

BACA JUGA: Solusi yang Ditawarkan Pakar dan Orangtua Agar Lebih Aman Menonton Pertandingan Sepak Bola di Indonesia

Perlahan beranjak dewasa, ia akhirnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Ini membuat saya mempertanyakan identitas saya," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

"Peristiwa ini membuat saya merasa, apalagi dulu, kalau saya memiliki ras yang berbeda ... saya masih menganggap Indonesia sebagai rumah, tapi merasa tidak disambut."

Saat ini, di usianya yang ke-35, Wendy sudah meraih banyak prestasi di dunia kerja.

Ia bekerja sebagai mitra perpajakan konsultan Deloitte Australia, di antara segelintir mitra perempuan keturunan Tionghoa lainnya di sana.

Wendy pun menjadi salah satu finalis penghargaan "40 Under 40" yang diperuntukkan bagi warga keturunan Asia berusia di bawa 40 tahun di Australia atas kontribusi mereka di komunitas.

Ia merupakan satu dari beberapa warga keturunan Tionghoa yang menjadi finalis dan merasa bertanggung jawab membantu kelompok minoritas di Australia.Mengubah rasa sakit menjadi seni

Kerusuhan 1998 juga meninggalkan luka dalam diri perempuan Tionghoa-Jawa, Rani Pramesti, yang meninggalkan Jakarta ke Australia saat umurnya 12 tahun.

"Pada kerusuhan Mei '98, saya mengalami seperti apa rasanya tidak diperlakukan secara manusiawi," katanya.

Rani yang juga menjadi salah satu finalis penghargaan "40 Under 40" menerbitkan novel grafis digital berjudul "Chinese Whispers" pada tahun 2013.

Di dalamnya, ia bercerita tentang perspektif dan refleksi perempuan keturunan Tionghoa atas kerusuhan 1998.

Rani yang berusia 36 tahun juga ingin membantu komunitas yang kurang diwakili di Australia.

Untuk mewujudkan ini, ia mendirikan sebuah platform penelitian bernama 'Creatives of Colour' yang mendukung masyarakat Aborigin, kulit hitam dan berwarna, juga seniman difabel Australia.

Melalui organisasi tersebut, Rani dan rekannya membantu memecahkan masalah komunitas tersebut di bidang kesenian dengan membuat program.

Beberapa masalah yang dihadapi komunitas mereka antara lain adalah budaya tokenisme, masalah keuangan, serta kesehatan mental.

Salah satu program penelitian mereka sedang mencari metodologi bagaimana organisasi bisa bertanggung jawab atas kerugian yang dialami warga Aborigin, kulit hitam dan berwarna dalam institusi mereka.

"Tujuan utama saya adalah untuk menjembatani warga Aborigin, kulit hitam dan berwarna, dengan sumber daya yang dibutuhkan mereka," katanya.

"Saya berkomitmen melakukan ini sehingga komunitas kita bisa hidup sehat secara spiritual, materi, fisik dan mental."

Bagi Wendy yang sudah lebih dari 10 tahun berkiprah sebagai konsultan multinasional tentang investasi dan operasi di Australia, keberagaman budaya di tempat kerja sangat penting.

"Kita melihat kebudayaan kepemimpinan dalam kebudayaan Barat dalam diri orang yang cenderung lebih asertif," katanya.

"Padahal kepribadian saya lebih tertutup dan tidak asertif."

Walau demikian, identitas diri Wendy ini telah membantu banyak orang di dunia kerjanya yang juga sepertinya.

Ia telah menginspirasi anak muda di dunia profesional, khususnya keturunan Asia, untuk berani menjadi pemimpin di dunia korporat.

Wendy juga aktif menyuarakan pentingnya keberagaman dan kebudayaan inklusif di kantor untuk melawan rasisme di tempat kerja.

"Menurut saya organisasi bisa maju bila di dalamnya ada pemikiran dan perspektif yang beragam, terutama di level pemimpin," katanya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisnis Ganja di Thailand Menjamur, Pengedar Bebas Berkeliaran

Berita Terkait