Di salah satu kota pedalaman Australia bernama East Gippsland, kiprah perempuan dalam pemerintahan lokal sudah berlangsung lama, yaitu sejak 1954. Namun demikian, hingga saat ini pejabat perempuan masih kerap dipandang remeh.
Sejak 1954, tercatat 33 perempuan yang menjabat sebagai councillor di kota yang terletak sekitar 4 jam di sebelah timur Kota Melbourne. Yang pertama tercatat bernama Winifred Maurice yang terpilih sebagai pejabat di Orbost, yang setingkat kecamatan.
BACA JUGA: OzAsia Festival 2015: Melihat Indonesia yang Bukan Cuma Bali
Pejabat Kota East Gippsland, Jane Rowe, mengakui masih ada pejabat pria yang memandang remeh kiprah pejabat perempuan. (ABC/Zoe Ferguson)
BACA JUGA: Generasi Muda Ingin Tinggalkan Australia Karena Melambatnya Ekonomi
Menurut Mendy Urie, yang memimpin kelompok bernama Women in Local Government Working Group, mengatakan para pejabat perempuan membawa perspektif yang berbebda dalam pemerintahan.
Kiprah perempuan di East Gippsland dibukukan dengan judul 'Women in Local Government, East Gippsland' yang diluncurkan belum lama ini. Buku ini memaparkan kisah para pejabat perempuan di kota itu dari masa lalu hingga saat ini.
BACA JUGA: Australia Khawatirkan Terpidana Teroris yang Akan Dibebaskan di Indonesia
"Buku ini mrupakan dokumen sejarah yang penting karena mengakui kiprah pejabat perempuan, bagaimana mereka berjuang di antara tugas dan keluarga," kata Mendy Urie.
"Mereka mengalami saat-saat dipandang remeh, dikritik, sehingga butuh kekuatan besar hanya untuk bertahan di posisinya. Saya sangat menghormati para perempuan ini," tambahnya.
Mendy Urie dan Beth Ripper (ABC/Zoe Ferguson)
Kembali ke dapur
Councillor East Gippsland saat ini, Jane Rowe, mengaku ia masih mengalami saat-saat dimana sebagai perempuan ia dipandang remeh oleh kaum pria.
"Kejadiannya hanya beberapa kali dan juga jarang, namun kita harus mengakuinya untuk perbaikan ke depan," kata Jane Rowe kepada ABC.
"Waktu itu, usai rapat pertama sebagai pejabat pemerintah lokal, saya ke dapur untuk mengambil minum. Tiba-tiba seorang pejabat pria datang dan bilang, akhirnya ada perempuan di kantor ini yang bisa disuruh mencuci piring," papar Jane Rowe.
"Dia mungkin bercanda namun di balik itu menunjukkan pendangan pria bahwa saya berada di rapat itu bukan sebagai pejabat melainkan sebagai perempuan," katanya.
Kejadian lainnya, kata Jane, saat pemerintah setempat membahas penggantian uang penitipan anak bagi ibu-ibu.
"Saat itu kami membahas kebijakan mengenai penggantian uang penitipan anak dan seorang pejabat pria menyatakan perempuan tidak seharusnya menjadi pejabat," katanya.
"Itu sudah aga lama, jadi saya harap kini pandangan orang sudah berubah," tutur Jane lagi.
Peluncuran buku Women in Local Government, East Gippsland'. (ABC/Zoe Ferguson)
Ikut pemilihan
Sementara itu, menurut Beth Ripper dari Asosiasi Pemerintahan Lokal di negara bagian Victoria, jika lebih banyak perempuan yang ikut menjadi calon dalam pemilu, maka tentu saja akan lebih banyak perempuan yang akan terpilih menjadi pejabat.
"Harus diaku, perempuan cenderung tidak mau membuat keputusan besar seperti ikut dalam pemilu," katanya.
"Pemerintahan lokal merupakan bentuk pemerintahan paling dekat dengan masyarakat dan mampu menampilkan keberagaman - misalnya perempuan dari latar belakang aborigin atau disabel," paparnya.
Mendy sependapat bahwa perempuan dengan latar belakang yang lebih beragam diperlukan untuk ikut bersaing dalam pemilu sehingga akan menghasilkan pejabat pemerintahan yang lebih beragam.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Australia Menilai Maraknya Jilbab di Indonesia Tak Perlu Jadi Fobia