MENGUASAI bahasa asing kini sudah menjadi kebutuhan. Berbagai kursus bahasa asing pun bermunculan seperti jamur. Begitu pula komunitas-komunitasnya. Komunitas Fakta Bahasa (Faba) merupakan komunitas unik. Para anggota belajar bahasa asing sambil gaul di kafe.
-----------------
ZALZILATUL HIKMIA, Bandung
-----------------
Suasana lantai 2 sebuah restoran cepat saji di Jalan Djuanda, Dago, Bandung, Minggu siang (16/2) itu cukup ramai. Hampir seluruh sudut ruangan penuh. Suara-suara orang berbicara dengan bahasa Sunda ataupun Indonesia terdengar saling tumpang tindih.
Namun, ada juga yang berbicara dengan bahasa asing di telinga. Ya, saat itu sekelompok anak muda sedang asyik berbicara dengan bahasa Rusia.
Beberapa di antara mereka masih mengeja huruf-huruf negara pecahan Uni Soviet tersebut dengan terbata-bata. Sementara itu, seorang temannya menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Emily Zoe Hertzman, Peneliti Kanada yang Menjadi Bagian Rumah Pusaka Marga Tjhia
Sesekali terdengar derai tawa mereka manakala ada anggota yang terpeleset dalam pengucapan kata sehingga terdengar aneh atau bermakna beda.
Di antara anggota komunitas itu, Erlangga Femayuga terlihat paling sibuk. Maklum, mahasiswa Teknik Industri Institut Teknologi Telkom Bandung tersebut memang paling mahir bahasa Rusia. Apalagi, pemuda 20 tahun itu juga tercatat sebagai pendiri komunitas Faba.
"Akhirnya kami bisa mulai clubbing lagi setelah beberapa bulan absen. Kemarin-kemarin kan kena liburan (kuliah, Red)," ujarnya.
Eits, jangan salah mengerti. Yang dimaksud Erlangga clubbing bukan berdisko ria di kelab malam. Clubbing memang menjadi istilah khusus yang digunakan komunitas Faba dalam pertemuan-pertemuan reguler. Dalam pertemuan tersebut, para anggota saling belajar penguasaan bahasa asing. Bukan hanya bahasa Rusia, ada juga bahasa Inggris, Jepang, Spanyol, Prancis, Jerman, dan sebagainya.
"Supaya tidak membosankan, kami belajar bahasa dengan cara menyenangkan seperti ini. Sambil minum kopi, di pub, atau di tempat keramaian lainnya," jelas dia.
Semangat tersebut, kata Erlangga, menjadi dasar didirikannya Faba. Yakni, agar anak-anak muda tidak hanya mengenal bahasa Indonesia dan Inggris. Usia anggota komunitas tersebut dibatasi 27 tahun ke bawah. Karena itu, suasana pertemuannya dirancang menarik dan penuh guyon.
"Kami berbeda dengan komunitas poliglot. Kalau mereka khusus untuk yang sudah ahli dan serius mendalami bahasa. Kami adalah"para pemula yang tertarik mempelajari bahasa asing bareng-bareng," ujarnya.
Menurut Erlangga, belajar bahasa asing tidak boleh setengah hati. Harus total. Sebab, bila setengah-setengah, mereka dijamin rontok di tengah jalan.
"Bayangkan kalau belajar sendiri dengan buku. Lama-lama pasti bosan. Sebaliknya, bila belajar bersama dengan kawan seumur, pasti menyenangkan dan lebih termotivasi. Kalau ada kesulitan, bisa saling tanya," ungkap pemuda yang punya nama beken Erlangga Greschinov itu.
Model pembelajaran bahasa asing di sekoleh-sekolah selama ini, kata Erlangga, cenderung dipaksakan. Akibatnya, bukannya menyenangi bahasa itu, si siswa atau mahasiswa justru membencinya.
"Itu karena mereka belajarnya terpaksa. Jadinya merasa tidak menyenangkan. Seharusnya bahasa itu dianggap hobi. Sama dengan bermain musik atau olahraga. Kalau dipaksa, siapa yang mau?" katanya.
Dengan dasar itu, komunitas Faba menolak cara konvensional dalam belajar bahasa. Kalau biasanya belajar bahasa dengan cara mengenal huruf, tata bahasa, dan cara pengucapan, Faba menyelipkan hal-hal menarik tentang negara pengguna bahasa tersebut. Mulai bentuk geografis, sejarah negara, sampai budaya-budaya yang tengah berkembang di sana.
Saat mengajar, Erlangga juga menyiapkan hal serupa. Ketika semangat turun, pemuda yang nyambi menjadi guru privat bahasa Rusia itu lalu mengeluarkan peta. Dia langsung menjelaskan pembagian wilayah Rusia yang masuk dua benua, Eropa dan Asia. Kemudian, dilanjutkan dengan perbedaan orang-orang di dalamnya serta pembagian waktu yang ada.
BACA JUGA: Honorer Tua itu Lirih Ucapkan Takbir, Menangis, Lantas Dipeluk Rekan-rekannya
"Bahasa itu memengaruhi pola pikir. Kita bisa dapat pandangan baru. Misalnya, di Yunani mengangguk justru berarti tidak. Kalau setuju baru menggeleng. Sama dengan orang Rusia. Banyak yang menganggap mereka dingin. Tapi, setelah saya mengenal mereka, semua baik dan ramah," ujarnya.
Dalam kelas Faba, ada peraturan yang wajib dijalankan peserta. Pertama, mereka wajib membawa alat tulis dan buku saku. Mereka harus mencatat yang dipelajari, kemudian dihafal. Kedua, kalau terlambat datang, mereka didenda. Yakni, harus mentraktir seluruh anggota yang hadir.
"Cara begitu akan lebih mengakrabkan antaranggota. Sebab, di sini kami bukan cuma belajar bahasa bareng, tapi juga dapat teman baru, pengalaman baru," tuturnya.
Selain itu, Erlangga punya beberapa jurus tambahan agar komunitas tersebut disenangi anggota. Misalnya, menghadirkan turis asing dalam clubbing sekaligus menjadi native speaker. Juga, mencari tempat yang berbeda suasananya.
"Kami juga biasa mengajak anggota ke acara berbau kebudayaan asing atau berkunjung ke pusat kebudayaan asing," jelas pemuda yang menguasai lima bahasa asing tersebut.
Ketika ditanya tentang asal mula pendirian komunitas Faba, Erlangga tidak bisa menjawab dengan pasti. Dia hanya mengatakan, semua berawal dari akun Twitter @faktabahasa yang dirilis pada 2012. Di akun itu dia selalu membuat status yang unik-unik dengan bahasa. "Saya sejak kecil memang tertarik bahasa. Iseng saja buat akun itu," ujarnya.
Sejak itu Erlangga mulai mem-posting hal-hal yang lucu. Misalnya, gambar yang menunjukkan tata bahasa Indonesia yang salah. Juga, mengartikan guyonan-guyonan Rusia ke dalam bahasa Indonesia.
"Ternyata follower-nya terus bertambah. Sejak itu saya kepikiran untuk ngumpulin teman-teman follower di Bandung untuk belajar bahasa bersama. Akhirnya, pada Maret 2012, berdirilah komunitas ini. Kini anggotanya sudah sekitar 120 orang," tuturnya.
Setelah dari Bandung, komunitas Faba berkembang ke kota-kota lain. Kini sudah ada sebelas komunitas regional yang aktif. Di antaranya, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Tangerang, Depok, Bogor, Bandung, dan Jogjakarta. Sedang bersiap komunitas di Solo dan Malang.
"Kalau regional lain, konsepnya juga lain. Misalnya, untuk region Malang dan Tangerang, terdapat kelas bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Ada yang pakai kurikulum. Semua bergantung masing-masing komunitas di daerah itu. Kami cuma menyediakan koridornya," ungkap dia.
Konsep komunitas yang dipakai Faba cukup ampuh untuk menarik anggota. Salah seorang di antaranya Andi Sumantri, 19. Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung tersebut mengaku mengikuti kelas bahasa Jerman dan Rusia. Dia tertarik setelah melihat temannya mahir berbicara dalam bahasa Rusia.
"Tulisan Rusia menurut saya indah. Ada tulisan bersambungnya dan itu menarik. Selain itu, memang ada keinginan untuk backpacker-an ke sana. Kalau bahasa Jerman, belajarnya karena pengin nerusin kuliah di sana," jelasnya.
Andi mengaku sangat senang ikut kegiatan di Faba Bandung. Meski belum tentu bisa berkunjung ke dua negara tersebut, dia merasa mendapatkan pengetahuan lebih dalam komunitas itu.
"Kami mungkin bisa melihat di internet. Tapi, akan terasa jauh berbeda jika dijelaskan secara langsung. Apalagi, kami jumpai orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama. Rasanya akan beda, jauh berbeda," tambahnya.
Lain halnya dengan Fikri Andra Restu. Mahasiswa semester enam Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis Unpad tersebut mengaku ikut bergabung di Faba karena ingin menjadi penerjemah. Keikutsertaannya dalam Faba pun dirasanya sangat membantu untuk mencapai cita-citanya itu.
"Penginnya sih bisa semua bahasa. Soalnya, tujuan awalnya mau jadi penerjemah bahasa asing. Amin," ujarnya, kemudian tertawa. (*/c10/ari)
BACA JUGA: Mendulang Berkah Macet Jakarta, Tiap Bulan Kirimi Istri Rp 2 Juta
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Abashiri Prison Museum, Penjara Paling Ketat di Era Meiji
Redaktur : Tim Redaksi