Pergulatan setelah ISIS Kalah di Iraq dan Syria

Senin, 15 April 2019 – 23:29 WIB
Warga ISIS menyerah kepada pasukan koalisi Amerika Serikat di Syria. Foto: AP

jpnn.com, BAGHDAD - Messing memandangi putranya yang masih berusia 2 bulan. Bocah itu sakit. Badannya kurus. Tapi, perempuan 29 tahun yang menjadi istri anggota ISIS tersebut tak bisa berbuat banyak. Suaminya ditahan pejuang Kurdi. Sedangkan dia dan dua anaknya kini tinggal di Kamp Al Hol, Syria, yang minim fasilitas.

Kamp itu ditempati oleh perempuan dan anak-anak ISIS. Saat Baghouz kali pertama dibombardir, "hanya" ada ribuan orang di sana.

BACA JUGA: ISIS Muncul Lagi, Tujuh Nyawa Melayang

Namun, kini kamp itu kian luas dan diperkirakan berisi sekitar 70 ribu orang. Tidak ada tempat pengobatan yang memadai di tempat tersebut. Banyak anak yang sakit dan berakhir dengan kematian. Tapi, Messing yakin anaknya bisa bertahan.

Perempuan asal Jerman itu menceritakan bahwa anak terakhirnya lahir saat Baghouz dibombardir. Messing meminta suaminya mencari bantuan, tapi tak ada seorang pun yang bisa dimintai tolong. "Saya melahirkan sendirian. Tidak ada dokter atau perawat," ujarnya. Untung, dia dan anaknya selamat.

BACA JUGA: ISIS Kalah Telak di Suriah, Begini Reaksi Polri

Messing mengungkapkan, dirinya meninggalkan negaranya saat masih berusia 15 tahun. Tepatnya pada Maret 2015. Dia bergabung dengan ISIS dan menjadi istri ketiga seorang prajurit ISIS yang juga berasal dari Jerman.

Kehidupan di lingkungan ISIS yang luar biasa ketat membuat Messing tak tahan. Dia ingin pulang, tapi jalan untuk kembali masih panjang. Banyak negara yang tak mau menerima orang-orang yang pernah masuk jaringan kelompok radikal ISIS.

BACA JUGA: Waspada Disusupi ISIS, Jangan Belajar Agama Secara Instan di Internet

"Dulu ketika masih 1,5 tahun bergabung dengan ISIS, saya meminta ayah saya untuk mengirimkan penyelundup yang membantu saya keluar," terang Messing kepada jurnalis BBC.

Sayang, dia kurang beruntung. Perantara yang dikirim sang ayah tertangkap dan dibunuh. Di telepon genggamnya ada foto Messing. Seketika itu juga Messing dipenjara. Kali pertama dia dipenjara di Kota Raqqa dan yang kedua di Shaafa.

Messing berharap dirinya dan suami bisa segera pulang ke Jerman. Tak mengapa jika suaminya harus menjalani masa hukuman penjara. Dia akan setia menanti. Setidaknya, hidup di negara sendiri jauh lebih baik jika dibandingkan hidup di kamp yang masih dipenuhi simpatisan ISIS.

Messing berpeluang pulang. Bahkan, anaknya sudah dicek perwakilan dari Jerman untuk melihat identitasnya.

Para perempuan yang berasal dari negara-negara Barat sangat takut untuk berbicara dengan orang asing. Terutama pria. Sebab, perempuan-perempuan yang masih yakin ISIS bakal bangkit akan menyerang mereka. Saat malam, tenda mereka akan dibakar habis. Beberapa perempuan dari negara-negara Barat juga tetap kukuh mendukung ISIS.

"Ini adalah pilihan saya. Di Belgia, saya tidak bisa memakai niqab," ujar Umm Usma, perempuan berdarah Maroko-Belgia. Dulu dia adalah seorang perawat.

ISIS menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai tameng hidup saat perang terjadi. Mereka meletakkan kendaraan di depan tenda-tenda tempat para perempuan dan anak-anak tinggal. Padahal, mereka tahu kendaraan itu akan jadi sasaran pengeboman dari udara. Kini ketika perang usai, para perempuan itu harus bersusah payah bertahan hidup sendirian di tengah gurun. (Siti Aisyah/c5/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SDF Kuasai Baghouz, Kekhalifahan ISIS Resmi Tamat


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
ISIS   Syria   Iraq  

Terpopuler