Perhimpunan Dokter Sebut Sudah Saatnya Fitofarmaka Masuk JKN 

Selasa, 05 Desember 2023 – 00:30 WIB
Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. apt. Rina Mutiara dalam Forum Hilirisasi Fitofarmaka yang digelar oleh Ditjen Farmalkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Senin (4/12). Foto tangkapan layar YouTube Farmalkes TV

jpnn.com, JAKARTA - Fitofarmaka sudah dikategorikan sebagai obat yang sudah teruji klinis sama khasiatnya dengan obat dari sintesa kimia.

Pemerintah pun sudah membuat Formularium Fitofarmaka.

BACA JUGA: BPJS Kesehatan Bakal Periksa Riwayat Kesehatan Petugas Pemilu 2024

Akan tetapi, Fitofarmaka belum masuk Formularium Nasional Obat untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sehingga banyak dokter belum dapat meresepkannya untuk pasien JKN. 

Sebab, belum adanya regulasi yang menetapkan Fifofarmaka setara dengan obat sintesa kimia, pihak Asuransi Kesehatan Swasta pun belum dapat menerima klaim peresepan Fitofarmaka di Rumah Sakit, Klinik maupun Apotek, karena masih dianggap sebagai golongan obat tradisional. 

BACA JUGA: BPJS Kesehatan Sebut Program JKN Disambut Baik Suku Badui

"Dokter sebenarnya ingin meresepkan fitofarmaka untuk pasien, tetapi karena tidak dijamin sehingga menggunakan pengobatan yang lain," ungkap Kepala Instalasi Farmasi RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. apt. Rina Mutiara dalam Forum Hilirisasi Fitofarmaka yang digelar oleh Ditjen Farmalkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Senin (4/12).

Menurut Rina, saat ini bisa dibilang 90 persen pasien di rumah sakit pemerintah merupakan peserta BPJS Kesehatan.

BACA JUGA: Dirut BPJS Kesehatan Kenalkan Program JKN ke Pertemuan Tingkat Tinggi Dunia

Dengan demikian dokter harus meresepkan obat yang terdapat di Formularium Nasional JKN. 

Sementara itu, ketika obat tidak masuk Formularium Nasional, maka rumah sakit cenderung tidak memasukkannya ke Formularium Rumah Sakit.

Rina.mengatakan sebenarnya obat-obat fitofarmaka sudah mulai diresepkan oleh dokter karena sudah diuji kepada hewan dan manusia, tetapi pada kenyataannya di rumah sakit belum banyak diresepkan oleh para klinisi atau dokter.

Rina berharap fitofarmaka segera masuk Formularium Nasional meski saat ini Kemenkes telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka.

Namun, Formularium Fitofarmaka belum mengakomodasi fitofarmaka untuk bisa diklaim dengan BPJS Kesehatan.

"Pada saat penyusunan Fornas memang saat itu sudah ada usulan juga dari RSCM, tetapi belum diterima karena Kemenkes sudah membuat Formularium Fitofarmaka," kata Rina.

Diketahui, Komite Nasional Formularium Nasional menyusun daftar obat JKN berdasarkan usulan berbagai pihak terkait, termasuk dokter dan juga rumah sakit.

Komite tersebut beranggotakan perwakilan dari pemerintah hingga organisasi profesi kedokteran.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Dr. dr. Slamet Sudi Santoso juga mengungkapkan sulitnya fitofarmaka masuk JKN.

Padahal, kata dia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah gencar memberikan edukasi ke para anggotanya untuk meresepkan fitofarmaka. 

Selain PDHMI, perhimpunan kedokteran lainnya seperti PERDOSNI, POGI, PEGI, PPHI, PGI, PERALMUNI, dan PAPDI juga sudah pernah menyatakan dukungannya untuk produk-produk FitoFarmaka dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal di Indonesia, yaitu sistem JKN, demi membangun ketahanan dan kemandirian sektor kesehatan nasional. 

Kementerian Kesehatan sudah mengintegrasikan pengobatan konvensional dengan fitofarmaka.

Hal ini diungkap oleh Dirjen Farmalkes, L. Rizka Andalucia dalam forum tersebut.

"Kemenkes sudah berhasil mengintegrasikan pengobatan herbal di RS Sardjito, semoga ke depannya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan konvensional lainnya," ujar Rizka.

Rizka yang juga Plt. Kepala Badan POM tersebut mengungkap, sebanyak 80 persen penduduk dunia menggunakan pengobatan herbal.

Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan kemandirian ketahanan kesehatan, salah satunya melalui Obat Bahan Alam.

Selanjutnya Staf Khusus Menteri Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro menyatakan bahwa fitofarmaka saat ini tidak lagi digolongkan sebagai obat tradisional.

Oleh karena itu, fitofarmaka setara dengan pengobatan modern.

"Dana BPJS merupakan peluang, karena Fitofarmaka tidak lagi merupakan obat tradisional," ujar Prof. Laksono.

Salah satu dokter dari RSUP dr. Sardjito, Prof. dr. Nyoman Kertia mengungkapkan bahwa pihaknya telah banyak meresepkan fitofarmaka untuk pasien.

Menurutnya, pasien sangat senang ketika mendapat resep Obat Bahan Alam.

"Saat ini di RS Sardjito sekitar 50 dokter sudah meresepkan herbal. Ini bisa menjadi modal. Saya sendiri sekitar 2.000 pasien saya resepkan herbal," tutur dr. Nyoman.

Selain itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. DR. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD juga meresepkan fitofarmaka untuk pasien. Dokter spesialis penyakit dalam ini meresepkan fitofarmaka untuk pasien yang membutuhkan alternatif dari Proton Pump Inhibitor (PPI). (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BPJS Kesehatan Pastikan Masyarakat Kota Bengkulu Terjamin Program JKN


Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler