jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) yang berpangkal pada kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Permen KP Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.) terus menimbulkan polemik.
Kebijakan ini diduga terdapat penyalahgunaan wewenang oleh KKP. Selanjutnya, perusahaan joint venture dengan Vietnam juga diduga terkesan monopoli berkedok budi daya.
BACA JUGA: Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia Sambangi KPK, Begini Tujuannya
Ketua Wahana Lobster Indonesia (WLI) Wahyu Alamsyah mengendus dari kuota tangkap 493 juta BBL, ada 9,8 juta ekor dalam kurun waktu 5 bulan (sejak Maret-September 2024) yang sudah diekspor ke Vietnam.
“Dugaan sekitar 80 persen ekspor BBL Ilegal kedok budi daya yang diikat oleh regulasi dan 20 persen ekspor resmi negara. Namun, dari 20 persen BBL ekspor itu, perolehan PNBP hanya berkisar 16 persen saja,” ujar Wahyu, Selasa (24/9).
BACA JUGA: Lagi, Bea Cukai Menggagalkan Penyelundupan Benih Lobster
Menurut Wahyu, sistem pembelian ke koperasi modusnya dua PO yang seharusnya satu PO, misalnya perusahaan kirim surat permintaan kepada Badan Layanan Umum (BLU) dengan harga Rp 15 ribu.
Kemudian disetujui oleh BLU, tetapi di balik itu, perusahaan juga terbitkan PO baru lagi dengan permintaan ke koperasi nelayan dengan harga lebih tinggi atau Rp 18 ribu.
BACA JUGA: Bea Cukai Batam Gagalkan Penyelundupan 795.500 Ekor Benih Lobster, Begini Kronologinya
“Seharusnya hanya satu PO, yakni PO dari BLU ke koperasi,” ujarnya.
Menurut dia, hal indikasi adanya monopoli dan perdagangan ilegal yang dilakukan perusahaan ekspor BBL.
Dugaan penggelembungan saat ekspor itu terjadi, misalnya 1 kantong isi BBL sebanyak 1000 ekor, namun di dalamnya terdapat 2500-3000 ekor.
"Anehnya lagi, seperti dunia tipu-menipu, kalau dicek dokumen ekspor ke BLU. Jumlah yang dikirim dan diterima Vietnam sama. Nah, letak kesalahannya dalam proses ini di mana? Yakni di pengawasan oleh BKIPM, Bea Cukai dan KPPU," ungkapnya.
Menurut Wahyu, penegakan hukum melalui UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bisa digunakan. Termasuk dalam kategori dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi.
Masih, kata Wahyu, selain periksa Menteri Kelautan dan Perikanan, KPK perlu periksa 5 perusahaan ekspor benih bening lobster, terutama PT Gajaya Akuakultur Internasional yang mendapat kuota terbanyak ekspor BBL saat ini.
PT Gajaya Akuakultur Internasional dimiliki seorang pengusaha besar bernama Sujaka Lays yang akrab disapa AKA yang juga memiliki properti perusahaan batu bara yang baru saja IPO di bursa saham Indonesia.
“KPK harus segera periksa pemilik perusahaan tersebut yakni Sujaka Lays yang merupakan CEO dan investasi terbesar ekspor BBL,” katanya.
Seperti diketahui, saat ini ada 5 perusahaan yakni joint venture dengan Vietnam, yakni PT Mutagreen Aquaculture International, PT Gajaya Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, PT Idovin Aquaculture International dan PT Idichi Aquaculture International.
Namun, dari 5 perusahaan tersebut, berdasarkan keterangan KKP baru 3 perusahaan yang terverifikasi, yakni PT Mutagreen Aquaculture International, PT Gajaya Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International.
“Jadi, Permen KP 7/2024 ini hanya untungkan segelintir orang dan merugikan nelayan serta pembudidaya lobster,” pungkas Wahyu.(fri/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari