jpnn.com, JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Laode Ida menilai Keputusan Menkum HAM RI Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19, sebagai kebijakan yang tidak berdasar dan atau juga diskriminatif.
Menurut Laode, ada dua alasan Keputusan Menkum HAM tersebut dapat dikatakan akal-akalan dan diskriminatif.
BACA JUGA: IPW Kecam Rencana Pembebasan Koruptor Berdalih Wabah Corona
Pertama, pertimbangan yang dijadikan dasar kondisional dari Keputusan Menkum HAM itu, yakni karena over capacity lapas yang dianggap potensial penularan wabah Covid-19 adalah hal yang sangat tak masuk akal. Karena justru ketika mereka berada di luar tahanan mereka bisa berinteraksi atau bersentuhan fisik dengan orang-orang luar.
“Sementara kalau berada di dalam tahanan atau lembaga pemasyarakatan, mereka bisa diawasi ketat,” ujar Laode Ida dalam keterangan persnya, Sabtu (4/4/2020).
BACA JUGA: Petrus Selestinus: Kebijakan Ini Menusuk Presiden Jokowi dari Belakang
Laode mengingatkan bahwa wabah covid-19 yang viral itu tidak akan terbang langsung dari luar masuk ke dalam ruang tahanan atau lembaga pemasyarakatan (Lapas), melainkan melalui perantara yakni orang yang sudah terinfeksi.
“Maka seharusnya yang dilakukan adalah membatasi atau meniadakan orang luar berkunjung ke LP atau narapidana sama sekali tidak diperbolehkan untuk izin ke luar LP,” kata Laode Ida yang saat ini merupakan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) ini.
BACA JUGA: Corona Tak Terkendali, Didik Demokrat Maklumi Rencana Yasonna Obral Asimilasi Napi
Alasan kedua, menurut Laode, kebijakan Menkum HAM itu bersifat diskriminatif. Status hukum seorang narapidana tidak boleh dibedakan berdasarkan jenis hukuman yang dijatuhkan padanya dan juga tidak berdasarkan usia narapidana.
“Tepatnya, keistimewaan yang diberikan kepada lebuh dari 30 ribu narapidana itu dapat dianggap sebagai keistimewaan tersendiri yang berbeda dengan narapidana lainnya. Ini jelas suatu watak diskriminatif,” tegas Laode.
Pertanyaannya, menurut Laode, keistimewaan seperti apa yang akan diberikan kepada mereka yang sekarang ini masih berada di LP dimana mereka tidak masuk dalam kriteria 'istimewa' seperti yang sekarang ini dibebaskan itu? Di sinilah sisi sangat lemah dan tidak berkeadilannya kebijakan pembebasan narapidana secara parsial itu.
Seharusnya, kata dia, Menkum HAM juga memastikan bentuk keringanan seperti apa bagi mereka yang masih kurang dari 2/3 masa tahanan. Jika tidak ada kebijakan baru bagi mereka yang sekarang masih dalam tahanan, maka sekali lagi, secara telanjang sangat mencederai rasa keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini.
“Dalam bahasa ideologi kita, kebijakan itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” ujar Laode.
Laode menambahkan, hal lain yang harus dicermati adalah bahwa kebijakan itu hanya sekadar memanfaatkan situasi serba-takut nan panik terhadap wabah covid-19. Jangankan konsultasi publik, konsultasi dengan DPR saja sepertinya tidak dilakukan. Setidaknya, untuk yang disebut terakhir, tidak pernah diberitakan ke publik sehingga dapat dikatakan, kebijakan Menkum HAM itu potensial melanggar UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).
“Tepatnya, kebijakan Menkum HAM itu sangat potensial melanggar nilai-nilai Pancasila dan UU,” ujar Laode Ida.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich