jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Benny Kabur Harman memberikan peringatan keras kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait status tersangka yang kini disandang mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino.
Politikus Partai Demokrat (PD) itu bereaksi atas keterangan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menyebut lembaga antirasuah tersebut belum memiliki cukup bukti untuk membawa Lino ke pengadilan.
BACA JUGA: Rapat di DPR, Pimpinan KPK Ungkap Sebab RJ Lino Belum Diadili
Benny menyatakan bahwa DPR sejak periode pertama pimpinan KPK telah mewanti-wanti komisi yang eksis mulai 2003 itu tidak sembarangan menetapkan tersangka apabila buktinya tidak lengkap. Menurutnya, dahulu KPK tidak diberi kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan harapan agar institusi yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 itu tidak ceroboh dalam menetapkan tersangka.
“Kalau bukti belum lengkap tidak boleh tetapkan orang jadi tersangka, tetapi begitu jadi tersangka tidak boleh lama dan kasusnya harus dibawa ke pengadilan,” kata Benny dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (27/11).
BACA JUGA: Garap Kasus RJ Lino, KPK Periksa Adik Bambang Widjojanto
Benny lantas mempersoalkan alasan KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka korupsi proyek quay container crane (QCC) di Pelindo II tanpa disertai bukti cukup. “Tadi pimpinan KPK bilang alat bukti tidak lengkap, kenapa baru sekarang mengatakan alat bukti tidak lengkap. Ini ada malapraktik,” kata Benny.
Jika memang alat bukti dalam kasus Lino belum lengkap, kata Benny, semestinya KPK tak menetapkan pemilik nama Richard Joost Lino itu sebagai tersangka. Sebab, hal itu berpengaruh pada kredibilitas KPK.
“Yang bikin rusak KPK penjelasan yang begini. Yang bikin KPK tidak dipercaya publik karena penjelasan begini,” ujarnya.
Oleh karena itu Benny mengingatkan KPK terbuka soal RJ Lino. “Jangan publik dibohongi, jelaskan apa adanya. Kalau Pak Alex tidak punya kemampuan, beri yang punya kemampuan menjelaskan itu,” tutur politikus asal Nusa Tenggara Timur itu.
Menanggapi hal itu, Alexander mengatakan bahwa status tersangka untuk Lino dikeluarkan pimpinan KPK periode 2011-2015. “Kami tidak tahu dasarnya apa tetapi alat buktinya cukup termasuk perkiraan kerugian negaranya,” katanya.
Wakil Ketua KPK Laode Syarif memastikan sudah ada bukti cukup untuk menjerat Lino. “Apakah pimpinan sebelum menetapkan RJ Lino belum mempunyai dua alat bukti, saya katakan sudah ada,” katanya dalam rapat itu.
Hanya saja, kata Syarif, jaksa penuntut umum (JPU) KPK membutuhkan angka pasti soal kerugian negara akibat korupsi proyek QCC yang menjerat Lino. Menurutnya, semula KPK meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kerugian negara proyek QCC.
Namun, BPKP tak bersedia menghitungnya. Akhirnya KPK meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit proyek di Pelindo II tahun anggaran 2010 itu.
“Setahun dua tahun BPKP tidak mau menghitung kemudian kami ke BPK,” ujar Syarif.
Lebih lanjut Syarif mengatakan, KPK sudah berupaya mencari harga pembanding QCC yang dibeli Pelindo II. Namun, KPK tak menemukannya.
“Saya waktu itu dan Pak Agus (Ketua KPK Agus Rahardjo) sudah di Beijing mau minta dokumen, tetapi di-cancel pertemuannya. Kedua, saya bisa pahami harus ada harga pembanding karena barang dari Tiongkok,” katanya.
Syarif menyatakan bahwa otoritas di Tiongkok tidak kooperatif dalam persoalan itu. Akhirnya, kata dia, KPK meminta ahli menghitung setiap komponen QCC, sedangkan KPK mengalkulasi harganya di pasaran dunia.
“Tim forensik kami pergi mempreteli itu semuanya. Akhirnya kami dapat ahli, berdasarkan penghitungan ahli itu dapatlah harga wajarnya. Jadi, jangan sampai ditulis (media) RJ lino ditetapkan tersangk belum ada dua alat buktinya. Jangan anggap KPK tidak lakukan upaya maksimum,” ujarnya.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy