jpnn.com, JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan bakal ada 100 ribu buruh yang akan menggelar aksi di Istana Kepresidenan dan gedung Mahkamah Konsititusi pada May Day 1 Mei 2023.
Salah satu tuntuntan yang akan disuarakan ialah perihal RUU Kesehatan yang disebut-sebut memicu polemik dan tidak berpihak pada pekerja.
BACA JUGA: PPNI Menyikapi Pro Kontra RUU Kesehatan
KSPI menyatakan menolak rencana pengelolaan dana BPJS Kesehatan diambil alih Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan tersebut.
Pasalnya, dana tersebut bukan murni berasal dari APBN, melainkan juga terdiri atas dana yang berasal dari iuran pekerja hingga pengusaha.
BACA JUGA: Dinilai Mampu Membawa Perubahan Besar, RUU Kesehatan dapat Banyak Dukungan
“BPJS Kesehatan harus di bawah langsung presiden. Ketika ada keadaan darurat dan dana BPJS berkurang, itu presiden bisa keluarkan APBN atau sumber lain. Kalau menteri kan tidak bisa," ungkap Said Iqbal dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Minggu (30/4).
KSPI pun mengusulkan BPJS di bawah presiden, karena dana BPJS terdiri dari tiga sumber. Ada Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui APBN, iuran buruh, dan iuran mandiri.
BACA JUGA: PB IDI Minta Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan, Uni Irma Menghajar Balik
"Masa mau diambil pemerintah di bawah Menteri Kesehatan,” kecam Said Iqbal.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Synergy Policies Dinna Prapto Raharja mengungkapkan bahwa RUU Kesehatan memang berdampak fundamental terhadap sistem kesehatan di Indonesia.
Sebab, RUU tersebut mencabut 9 undang-undang terkait kesehatan dan mengubah 4 undang-undang yang menjamin hak warga negara mendapatkan jaminan kesehatan, termasuk di dalamnya hak pekerja.
Kementerian Kesehatan sebagai regulator hendaknya fokus menjamin penyelesaian masalah struktural, seperti kecukupan ketersediaan tempat tidur, dokter, dokter spesialis, perawat, dan sejenisnya di seluruh Indonesia.
"JKN yang diselenggarakan secara independen adalah mandat konstitusi yang tidak bisa dicabut UU Omnibus. Keliru kalau menyalahkan JKN, karena ada pekerjaan rumah yang belum dilakukan regulator,” tegas Dinna.
Sebagai peneliti yang turut mengawal proses lahirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU BPJS, dan regulasi turunannya, Dinna mengungkapkan bahwa JKN merupakan bagian dari transformasi kesehatan nasional.
JKN menyediakan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara di bidang kesehatan, terlebih 114,7 juta penduduk Indonesia berstatus ‘menuju kelas menengah’ dan 61 juta penduduk berstatus 'rentan'.
“Tanpa JKN, kemampuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan akan tergerus," ungkapnya.
Menurutnya, tanpa JKN sistem akan kembali ke awal sebelum ada JKN. Perbaikan kemampuan rumah sakit dan dokter dalam merespons JKN justru seharusnya dijadikan prioritas dalam transformasi kesehatan nasional.
"Kami tidak melihat adanya overlapping struktur kewenangan antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Upaya mengubah kondisi ini melalui RUU Kesehatan, justru mengganggu transformasi layanan sistem kesehatan yang sudah berjalan sejak 2014,” pungkas Dinna.(jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Elvi Robiatul, Elvi Robiatul