Memadukan hasrat bermusik dengan penghormatan terhadap pahlawan adalah sesuatu yang dilakukan Murray O’Hanlon untuk memperingati Hari Anzac (25/4). Lewat pentas gitar akustik, Murray mengenang tentara Australia yang gugur di Indonesia selama Perang Dunia II.
Murray O’Hanlon, atau akrab disapa Mas Ray adalah warga Australia yang tinggal di Jakarta dan memiliki hobi bermusik di kala luang.
BACA JUGA: 5 Perempuan Lansia Australia yang Masih Berkarya di Usia Senja
Berbekal saran guru gitarnya, Murray memberanikan diri untuk pentas akustik di sebuah kafe di bilangan Tangerang Selatan pada (24/4). Pentas ini ia namai 'Lagu Perang - Songs of War'.
“Karena pentas saya tanggal 24 April, jadi ini malam Hari Anzac, saya pikir akan menarik untuk berbagi cerita dalam bahasa Indonesia tentang musik rakyat yang berhubungan dengan tema pertang,” ceritanya kepada Nurina Savitri dari Australia Plus.
BACA JUGA: Penggemar di Australia Ini Punya 20 Tato Bergambar Wajah Prince di Tubuhnya
Salah satu lagu yang ia bawakan adalah milik grup rock Australia, Cold Chisel, yang berjudul Khe Sanh, dan bercerita soal veteran perang Vietnam yang terasing.
“Saya penggemar berat musik rock jadi saya harus memainkan lagu ini. Khe Sanh adalah lagu Australia terbaik yang pernah ada,” aku pria yang bekerja di Kedutaan Besar Australia ini.
BACA JUGA: Fotografer Melbourne Tuduh Rumah Mode Calvin Klein Tiru Fotonya
Lagu lain yang Mas Ray bawakan adalah ‘And The Band Played Waltzing Matilda’ dan ‘No Man’s land’, dua-duanya karya musisi Skotlandia, Eric Bogle. Lagu Eric yang pertama mengisahkan kampanye Gallipoli, sementara ‘No Man’s Land’ menuturkan percakapan bayangan antara pencipta lagu dengan serdadu yang terkubur di Denmark, Norwegia, Luxembourg, Belgia, Belanda, Inggris, Perancis, Italia dan Jerman.
“Lagu-lagu itu sangat berarti untuk saya. Sulit membayangkan ada 60.000 tentara Australia yang kehilangan nyawa. Realitas perang saat itu mestinya mengejutkan pemuda Australia yang tiba di Tanjung Suvla, yang tadinya berharap untuk bertualang atau untuk mengakhiri perang, 101 tahun yang lalu,” tuturnya menerawang.
Murray lantas berujar, “Tak semua lagu yang saya bawakan muram dan gelap. Saya juga membawakan lagu band rock Australia, Hunters & Collectors, berjudul Holy Grail versi akustik yang lebih rancak.”
“Selain itu, saya juga mainkan lagu Steve Earle dari Amerika, Copperhead Road. Lagu ini menceritakan perspektif Amerika tentang pengalaman veteran perang Vietnam,” imbuh pria yang lancer berbahasa Indonesia ini.
Murray membawakan lagu-lagu perang itu bukan tanpa alasan. Tak semata-mata karena Hari Anzac, ia memendam misi yang lebih dalam.
“Saya pikir, tak semua penonton di Tangerang Selatan atau Banten sering mendengar tentang pengalaman Australia dalam konflik. Jadi ini adalah kesempatan berharga untuk naik panggung dan berbagi cerita lewat musik,” ungkapnya.
Pria jangkung ini berpendapat, tak banyak warga Australia dan Indonesia tahu soal berapa banyak warga Australia yang gugur di Indonesia selama Perang Dunia II.
“Lebih dari seribu tentara Australia dikubur di Taman Makam Pahlawan Menteng Pulo, Jakarta, tempat peringatan Anzac biasa berlangsung di ibukota. Belum lagi mereka yang terbunuh saat menghalau Jepang di Jawa,” tuturnya kepada Australia Plus.
“Banyak warga Australia juga tewas dalam kampanye untuk merebut kembali Kalimantan pada tahap penutupan perang. Bagi saya, lagu-lagu dan cerita-cerita itu sama pentingnya untuk diingat pada Hari Anzac di Indonesia seperti mereka yang ada di Australia, Turki atau Perancis,” sambungnya menutup percakapan.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perancang Busana Film The Dressmaker Pamerkan Karyanya di Melbourne