Perjalanan Dinas dan Rapat di Hotel Sedot Rp 40 Triliun per Tahun

Selasa, 09 Desember 2014 – 16:51 WIB
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, sekitar Rp 40 triliun anggaran negara setiap tahunnya habis hanya untuk membiayai perjalanan dinas dan rapat di hotel-hotel mewah. Karena itu pemerintah akan berupaya terus mengefisienkan penggunaan anggaran, agar lebih tepat guna.

 “Penelitian mengungkapkan Rp 40 triliun anggaran kita untuk perjalanan dan rapat. Jadi ke depan, rapat-rapat harus di kantor pemrintah. Maknanya agar kita lebih efisien menggunakan anggaran,”  kata Jusuf Kalla pada Rapat Koordinasi Pengawasan Daerah Nasional, di Gedung Kemdagri, Selasa (9/12).

BACA JUGA: Ingatkan Yuddy, Fadli Zon: Belanja Pemerintah Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Meski begitu, JK mengakui kebijakan tersebut membawa ekses, terutama bagi keberadaan hotel-hotel yang selama ini sering digunakan menjadi tempat rapat-rapat pemerintahan.

“Memang ada akibat, hotel-hotel kosong jadinya. Tapi kalau kita ingin efisien, ada korban juga. Namun sama dengan minum obat, hari ini kita minum obat memang tidak enak, setelah dua-tiga bulan atau satu tahun, ekonomi bertumbuh karena kita efisien. Hotel akan penuh lagi dengan tamu yang banyak, yang benar-benar datang untuk bekerja. Jadi bukan tamu peserta rapat,” katanya.

BACA JUGA: Demokrat Yakin Jokowi Setuju Perppu Pilkada Langsung

Sebagai langkah efisiensi, pemerintah kata JK, juga akan melakukan moratorium bagi pembangunan kantor-kantor pemerintahan. Menurutnya, gedung-gedung pemerintahan di pusat dan daerah yang ada sudah sangat cukup. Bahkan cenderung berlebih.

 “Moratorium kantor harus kita lakukan. Karena makin besar kantor, cenderung tambah pegawai yang tidak perlu. Sehingga eselonnya juga makin panjang, makin lama prosesnya, makin bosan rakyat menunggu,” katanya.

BACA JUGA: Kubu Agung Pesimis JK Bersedia Masuk Wantim

JK mengaku sering mengatakan, yang memerintah di negeri ini adalah jajaran eselon III. Pasalnya, tiap kali ada masalah, menteri yang mendisposisi penelahaan permasalahan kepada direktur jenderal, meneruskannya ke direktur. Kemudian direktur menyerahkan ke pejabat Eselon III terkait. Karena yang mengerti seluruh berkas aturan merupakan pejabat Eselon III.

“Jadi bukan menteri, bukan dirjen atau eselon I. Tapi eselon III. Misalnya untuk menelaah sebuah kebijakan, ketika yang di bawah mengatakan tidak bisa, maka menteri yang memutuskan juga mengatakan tidak bisa. Nah ketika timbul masalah, tidak ada yang jalan. Makanya ide memperpendek eselon lagi kita kaji. Karena makin lambat keputusan, negara tumbuh lebih lambat,” katanya.(gir/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaksa Agung tak Setuju Kapal Asing Ditenggelamkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler