jpnn.com - JAKARTA - Praktisi hukum (Cand) Dr. Meggy Tri Buana Tunggal Sari menyoroti fenomena perjanjian perkawinan.
Dia menilai perjanjian perkawinan telah mendegradasi nilai kesakralan dari hubungan membina rumah tangga.
BACA JUGA: Perkawinan Usia Anak Salah Satu Penyebab Kasus Pada Balita ini
Meggy mendasari pandangannya sebab tujuan perjanjian perkawinan dalam pelaksanaannya merupakan perjanjian pemisahan harta kedua mempelai.
Hal itu secara kategori masuk dalam perjanjian perdata murni, di mana baru dianggap sah bila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
BACA JUGA: Supriansa DPR Sebut UU Hukum Acara Perdata Perlu Segera Direvisi, Apa Urgensinya?
"Hal tersebut telah mereduksi hakikat perkawinan atau mendegradasi nilai kesakralan perkawinan, yang menurut agama tertentu tidak mengenal perceraian."
"Dengan kata lain, perjanjian perkawinan mengingkari hakikat keabadian perkawinan."
BACA JUGA: Bahas RUU Hukum Perdata, Komisi III Undang Peradi
"Artinya, pasangan suami istri telah menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu akan bercerai," ujar Meggy Tri Buana kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/9).
Meggy memaparkan hal tersebut terkait uji disertasinya bertajuk 'Rekonseptualisasi Perjanjian Perkawinan Dalam Perspektif Filosofi Pancasila'.
Dia lantas menegaskan bahwa perkawinan merupakan sendi dari komunitas masyarakat, bangsa dan negara. Perkawinan adalah sendi adanya hukum.
Perkawinan yang sehat menciptakan keluarga bahagia.
Dia juga mengatakan Indonesia adalah negara hukum berideologi Pancasila.
Karena itu, nilai-nilai agama menjadi sendi utama kehidupan berbangsa, termasuk melandasi ikatan perkawinan warga negara.
Menurut Meggy, dalam perkembangannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah mengubah secara progresif landasan pengaturan perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan dapat dibuat secara prenuptial agreement (pranikah).
Selain itu, dapat juga dibuat secara postnuptial agreement (selama dalam ikatan perkawinan).
Perjanjian itu harus disahkan oleh pegawai pencatat nikah atau notaris dan berlaku sejak perkawinan atau jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (dapat berlaku surut).
"Faktanya, nilai-nilai Pancasila, utamanya sila pertama belum sepenuhnya dijiwai."
"Terbukti, perjanjian perkawinan dibuat atas perkawinan yang tercatat, tetapi tidak dilakukan sesuai dengan agama maupun kepercayaan".
"Perjanjian perkawinan dipakai untuk mengatur skenario pembagian harta pada saat terjadi perceraian."
"Hal ini memberi kesan mendegradasi makna sakral perkawinan dan menipiskan komitmen untuk menjaga keutuhan maghligai perkawinan sebagaimana dicita-citakan oleh UU Perkawinan, yaitu bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Meggy.
Meggy lebih lanjut mengatakan akibat tidak diaturnya dengan jelas ketentuan tentang perjanjian perkawinan, maka isinya dapat berupa apa saja.
Misalnya, ada sanksi KDRT, pengangkatan anak atau kesepakatan tidak boleh kuliah bila sudah menikah.
Hal-hal tersebut umumnya merupakan kewenangan lembaga peradilan. Jadi, tidak sesuai dengan substansi perjanjian perkawinan, yaitu tentang pemisahan harta.
"Perjanjian perkawinan merupakan bentuk penyimpangan dari konsep harta bersama sebagai akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah," kata Meggy.
Meggy menilai lebih tepat jika nomenklatur perjanjian perkawinan diubah menjadi 'perjanjian pemisahan harta'.
Dengan demikian ada kejelasan dan kejernihan makna dan tujuan perjanjian pemisahan harta oleh pasangan suami isteri. (gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang