Berbekal niat untuk mengubah nasib, Muhammad Imran yang berasal dari Kupang terbang ke Darwin, Australia seorang diri pada tahun 1972.
Di hari ketibaannya di Australia, pria yang berusia 18 tahun itu langsung bekerja sebagai tukang angkut sampah.
BACA JUGA: Peringatan Buat Pemerintah, Jangan Sampai yang Terjadi di Uganda Menimpa Indonesia
"Pulang kerja pertama angkat sampah itu, nangis. Abis enggak pernah kerja di Indonesia, juga kerjaannya berat, lari semalaman angkat sampah," kenangnya.
Dalam lima jam pertama di Australia, Muhammad Imran mengaku kehidupannya langsung banyak yang berubah.
BACA JUGA: Timnas Indonesia Patok Target Tinggi di Piala AFF 2020, Mungkinkah Tercapai?
"Karena enggak tahu bahasa Inggris, ketika ditanya 'What's your name?' oleh bos, saya tidak mengerti dia ngomong apa," katanya.
"Jadi, anak-anak itu menjawab, 'Max' namanya."
BACA JUGA: Syarat Terbaru Untuk Masuk ke Negara yang Sering Dikunjungi Warga Australia Termasuk ke Indonesia
Hingga lima puluh tahun sejak kejadian itu, semua orang di Australia mengenalnya sebagai Max.
Zakaria Sanny, yang tiba di Darwin tahun 1973, juga mendapat panggilan 'John' oleh orang-orang yang mengenalnya.
John mendapat pekerjaan dari seorang pria berkebangsaan Arab, di saat ia mencoba peruntungannya sendiri di Australia di usia 22 tahun.
"Abis sembahyang subuh, saya jalan, mencari pekerjaan di kota," kenangnya.
"Tapi waktu itu banyak [lowongan] kerjaan. Setiap datang ke tempat pekerjaan pasti dapat."
John yang berasal dari Malang mendapatkan pekerjaan pertamanya di sebuah perusahaan konstruksi yang menurutnya cukup besar di Darwin. Mendapat pengakuan status kependudukan
Di tahun 1974, John pindah ke Adelaide, Australia Selatan di mana ia bertemu Max dan berteman dekat dengan beberapa pemuda Indonesia yang senasib dengan mereka.
Saat itu mereka memperpanjang visa turis mereka sampai habis masa berlakunya.
"Kita jadi pelarian semua. Jadi illegal immigrant [imigran gelap]," kata John.
John dan Max terus memegang status tersebut hingga mereka membaca sebuah berita di surat kabar Australia tahun 1976.
Isi berita tersebut adalah Pemerintah Australia memberikan amnesti atau pengampunan bagi imigran yang telah tinggal di negara tersebut melebihi masa berlaku visanya. Sebuah kebijakan yang tak mungkin diberlakukan di masa sekarang.
"Tulisannya itu kecil, waktu [pemerintahan partai] Liberal, Malcolm Fraser," ujar John mencoba mengingat tampilan berita yang mengubah hidupnya tersebut.
Meski awalnya ragu, keduanya maju setelah mendapat konfirmasi dari mantan mertua Max, anggota Partai Liberal yang waktu itu berkuasa.
"Jadi akhirnya kita semua satu per satu ke imigrasi, menyerahkan diri, langsung stempel, 'kamu teman saya sekarang'. Katanya gitu," ujar John menirukan ucapan petugas imigrasi sambil tertawa.
Perasaan khawatir sempat juga dirasakan Max saat menghadap petugas imigrasi.
Ia menyadari bagaimana sebenarnya petugas imigrasi mengetahui pergerakan mereka ketika masih imigran gelap.
"Mereka punya map sangat tebal, isinya informasi kita. Mereka tahu [kami imigran gelap], cuma karena enggak ada yang melapor ya sudah mereka lewatkan saja," katanya.
"Kami lapor, langsung dikasih residence ... dicap di paspor kita ... dapat permanent resident di Australia."
Menurut catatan Departemen Imigrasi Australia, program amnesti ini merupakan upaya 'dispensasi' yang menarik lebih dari 8.600 aplikasi, termasuk di antaranya dari Inggris, Yunani, Indonesia, dan Tiongkok.
Program ini berlaku menyusul dihapuskannya White Australia Policy pada tahun 1973, kebijakan yang mengutamakan orang kulit putih atau bangsa Eropa yang bisa datang ke Australia.
Saat itu, status tinggal tetap diberikan dengan cuma-cuma, berbeda dengan sekarang. Menjadi pemimpin di bidang perhotelan dan konstruksi
Dengan status barunya sebagai 'Permanent Resident' Australia, lebih banyak kesempatan yang didapat oleh John dan Max.
Mereka memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara Australia lainnya, termasuk dalam dunia pekerjaan dan kemudahan layanan kesehatan.
Setelah bekerja di dapur hotel selama bertahun-tahun, Max menjalankan bisnis kafe dan kateringnya sendiri selama tujuh tahun hingga tahun 2003.
Ia namun memutuskan untuk menjual usahanya lalu menjadi kepala koki di dapur sebuah tambang uranium, mas, dan tembaga besar di Roxby Downs, yang lokasinya hampir 600 kilometer dari Adelaide.
"Karena di tambang, saya memasak untuk 3.000-an orang sehari," katanya.
"Anak buah saya ada 50 orang koki, orang bule semua ... dan dipercayakan anggaran belanja seminggu A$80,000 (Rp800 juta)."
Setelah 15 tahun berkarier di sana, Max memutuskan untuk pensiun, dan menjalani kehidupan yang santai bersama istrinya, Indah di Adelaide.
"Biasanya jalan pagi, jam 8 malam jalan dua atau tiga jam ke pantai, hanya 15 menit dari sini, lalu lihat-lihat tanaman di rumah," kata Max yang berusia 68 tahun.
Sementara John sempat menjalankan bisnis perusahaan atap bernama 'Old Port Roofing' bersama mertua dan adik ipar dari istri pertamanya selama 30 tahun.
Ia pun sempat dipercaya untuk memimpin setidaknya 15 karyawan ketika bekerja di lapangan dan turut membangun perusahaan tersebut sampai berkembang seperti sekarang.
Setelah pensiun, John yang kini berusia 73 tahun sesekali masih berkunjung ke perusahaan itu.
Dengan keterampilannya, ia suka menolong tetangganya memperbaiki atau memasang perabot rumah secara sukarela.
Sebagai seseorang yang aktif berkegiatan di luar rumah sejak belia, John juga sering berkeliling Australia dengan karavan bersama istrinya, Hatijah.
"Istri saya senang jalan ... kita sempat ke Canberra, Victoria, semua, NSW bagian utara, cuma sekarang COVID jadi kita enggak berani jauh-jauh," katanya.
John dan Max masih berteman baik dan sering berkumpul dengan teman-teman yang juga dari Indonesia untuk makan dan ngobrol bersama.
Hingga sekarang mereka masih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia, meski beberapa teman dekat mereka sudah berkewarganegaraan Australia. Pesan dari 'land of opportunity'
Di luar tantangan dunia kerja, Max dan John sempat menerima ejekan fisik karena latar belakang ras yang berbeda. Namun mereka selalu menanggapinya dengan berani.
"Ada yang bilang kita 'aye, slanthy eye!' [mata sipit]," kata John.
"Orang bule selalu bilang sama saya, 'You all look alike' [kalian semua mirip], saya bilang, "Kamu juga, saya kira kamu orang Rusia," kata Max.
Menurut John, pada saat itu warga Australia tidak suka disamakan dengan warga Rusia, yang juga dipanggil "white Russian".
Max dan John mengaku kenikmatan hidup mereka di Australia tidak lepas dari tantangan hidup jauh dari keluarga di Indonesia selama puluhan tahun.
"Up and down kita banyak sekali, tapi ya itu, kita enggak punya keluarga di sini. Satu-satunya teman yang bukan famili, akhirnya jadi famili," kata John.
Bagi Max, kesuksesan pada akhirnya kembali pada kemauan diri masing-masing untuk mau mengambil kesempatan yang ada tanpa pilih-pilih.
"Jadi Australia itu istilahnya kan land of opportunity. Ya tinggal dari kita-nya aja," kata dia.
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... WHO Peringatkan Risiko Varian Omicron Akan Membuat Penularan COVID-19 Bertambah